Terpilihnya Nabi Muhammad sebagai penutup Risalah (Utusan
Terakhir)
Kehendak Allah SWT terlaksana dan Allah SWT telah memilih
Nabi yang terakhir di muka bumi
Muhammad bin Abdillah
datang untuk menyerukan bahwa
hanya Allah SWT
yang patut disembah dan bahwa
semua manusia adalah hamba-hamba-Nya. Dengan membebaskan manusia dari menyembah
sesama mereka, maka
kebebasan yang hakiki
telah dimulai. Rasulullah
saw memberitahu bahwa kematian adalah perpindahan dari satu rumah ke
rumah yang lain. Ia bukan akhiran
yang misteri dari
kehidupan yang tidak
dapat dipahami, tetapi
ia hanya sekadar perpindahan. Takut kepada kematian
tidak akan menyelamatkan dari kematian
itu sendiri, dan cinta kepada kehidupan tidak akan memanjangkan ajal. Pada
setiap ajal ada ketentuannya. Maka keberanian merupakan unsur dari unsur-unsur
pembentukan kepribadian Islam dan bagian dari bagian-bagian sel yang ada dalam
tubuh seorang Muslim.

Rasulullah saw juga menyatakan bahwa rezeki di dunia
sudah dijamin dan ditentukan oleh Allah SWT: "Dan tidak ada suatu binatang
melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. " (QS. Hud:
6)v Jibril mewahyukan kepada Rasul saw bahwa suatu jiwa tidak akan memenuhi
ajalnya sehingga rezekinya
disempurnakan. Jika demikian
halnya, maka tidak
ada alasan bagi
manusia untuk khawatir terhadap
rasa lapar dan
gelisah terhadap hari
esok. Semua ini
terjadi dalam ruang lingkup mengambil atau melalui
jalanjalan menuju sebab. Yakni berusaha untuk mencapai rezeki yang merupakan
kewajiban bagi orang Muslim dan percaya terhadap kedermawan Allah SWT yang juga
merupakan suatu kewajiban bagi orang Muslim untuk mempercayainya. Allah SWT
berfirman: "Dan di langit
terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan
terdapat (pula) apa
yang dijanjikan kepadamu.
" (QS. adz-Dzariat: 22) Allah
SWT telah menjamin
rezeki di dunia
dan memerintahkan manusia
untuk berusaha mencapai rezeki
di akhirat. Rezeki
di dunia adalah
sesuatu yang sudah
dijamin, sehingga manusia tidak
perlu melakukan usaha
yang terlalu sengit
untuk mencapainya. Cukup
baginya untuk berusaha secara benar dan seimbang. Sedangkan berkenaan
dengan rezeki akhirat, Allah SWT memerin-tahkan manusia untuk berusaha
mencapainya karena ia adalah rezeki yang Allah SWT tidak menjaminnya kecuali
jika manusia berhasil melampaui dua jihad: jihad yang besar dan jihad yang kecil. Jihad besar
adalah jihad melawan hawa nafsu dan jihad kecil adalah jihad melawan musuh di
medan perang.
Dengan terbebasnya seorang Muslim dari kerisauan pada
kematian, rezeki, dan rasa takut, maka Islam
memberi seorang Muslim
senjatanya dan alat-alatnya dan
ia memerintahkannya untuk mulai
memerangi kekuatan-kekuatan kelaliman
di muka bumi.
Allah SWT berfirman
tentang umat Islam: "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah." (QS. Ali 'Imran: 110) Perhatikanlah, bagaimana Allah
SWT menyebutkan amal
makruf nahi mungkar
sebelum keimanan kepada Allah
SWT. Ini dimaksudkan agar
akal manusia tergugah akan pentingnyajihad di
jalan Allah SWT.
Amal makruf dan
nahi mungkar tidak
terwujud semata- mata dengan
memegang tongkat dan
mencambukannya kepada punggung
orang-orang Islam yang tidak
salat; ia juga
tidak berupa usaha
untuk menahan orang-orang
Muslim yang tidak berpuasa. Masalah
itu lebih penting
dan lebih besar
dari sekadar
memperhatikan hal-hal yang bersifat lahiriah, sedangkan hal-hal
yang bersifat batiniah tidak diperhatikan. Ayat tersebut berarti, hendaklah
seorang Muslim membawa senjata dan berdakwah di jalan Allah SWT serta memerangi
orang-orang lalim di muka bumi. Abu Bakar berkata: "Wahai manusia, kalian
membaca ayat berikut ini:" "Hai
orang-orang yang beriman,
jagalah dirimu. Tiadalah
orang yang sesat
itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah
mendapat petunjuk," (QS. al-Maidah: 105) Dan aku mendengar Rasulullah saw
bersabda: "Sesungguhnya ketika masyarakat melihat orang yang lalim dan
mereka tidak menghentikannya, maka Allah SWT akan menimpakan azab kepada mereka
semua." Penafsiran Abu Bakar terhadap ayat tersebut sangat jelas artinya.
Yakni bahwa pelaksanaan ayat tersebut dapat diwujudkan dengan adanyajihad di
jalan Allah SWT dengan mengangkat senjata sebagai usaha untuk menghentikan
orang-orang yang lalim. Setelah itu, seorang Muslim dapat mengatakan: "Aku
telah melaksanakan tugasku dan tidak akan berdampak kepadaku orang yang sesat
setelah aku memberikan petunjuk." Demikianlah pemahaman
orang-orang Islam yang
pertama.
Maka bandingkanlah pemahaman tersebut dengan pemahaman kita
saat ini di mana kita telah kchilangan keberanian, dan rasa takut telah
menghinggapi tubuh orang-orang Islam. Kaum Muslim lebih mengutamakan
keselamatan diri mereka daripada memerangi orang-orang yang lalim.
Muhammad bin Abdillah
datang dengan membawa
risalah Islam yang
di dalamnya terdapat perintah Ilahi untuk rnemerangi
orang-orang yang lalim dan mempertahankan kehormatan orang- orang yang
tertindas di muka bumi
Allah SWT berfirman: "Karena itu, hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia
dengan kehidupan akhirat berperang
di jalan Allah.
Barangsiapa yang berperang
di jalan Allah,
lalu gugur atau memperoleh kemenangan, maka
kelak akan Kami
berikan kepadanya pahala
yang besar. Mengapa kamu tidak mau
berperang dijalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik
laki-laki, wanita-wanita maupun
anak-anak yang semuanya
berdoa: 'Ya Tuhan
kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang lalim penduduknya dan
berilah kami pelindung dari sisi- Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.
" (QS. an-Nisa': 74-75) Muhammad
bin Abdillah membacakan kepada
kaumnya tentang penafsiran
Allah SWT berkenaaan dengan
makna kejayaan yang besar: "Sesungguhnya
Allah telah membeli
dari orang-orang mukmin
diri dan harta
mereka dengan memberikan surga
untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau
terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat,
Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain)
daripada Allah?, maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan
itu, dan itulah kemenangan yang besar." (QS. at-Taubah: 111) Bacalah ayat
tersebut dua kali dan renungkanlah tentang kedermawan Allah SWT. Betapa tidak,
Dia membeli jiwa
orang-orang mukmin dan
harta mereka, padahal
jiwa tersebut dan
harta tersebut pada hakikatnya adalah milik-Nya sendiri. Lihatlah
bagaimana kemuliaan Allah SWT di mana Dia
membeli harta milik-Nya yang
khusus dengan surga
dan bagaimana Allah
SWT menganjurkan orang-orang Islam untuk berperang, dan Dia memberitahu
mereka bahwa urusan memerangi orang-orang lalim dan orang-orang yang tersesat
bukanlah hal yang baru atas orang- orang Islam. Allah SWT telah memerintahkan
hal tersebut dalam Injil dan Taurat. Sebagaimana Nabi Isa
diutus dengan pedang,
seperti yang disebutkan
dalam lembaran-lembaran atau
buku- buku orang-orang Nasrani, maka Nabi Musa pun diutus dengan membawa
pedang. Dan ketika Bani Israil berkata
kepada Nabi Musa,
"pergilah engkau bersama
Tuhanmu dan berperanglah, dan kami
hanya di sini
duduk-duduk saja,", maka
kehendak Ilahi menetapkan
agar mereka mendapatkan
kesesatan selama empat puluh tahun sebagai akibat dari perbuatan mereka itu,
agar generasi yang lemah dan hina itu
hancur yang mereka justru tidak
memenuhi panggilan Allah SWT dan mereka membiarkan Nabi Musa bersama Tuhannya
berperang, padahal peperangan itu merupakan tanggung jawab
mereka dan tugas
mereka yang harus
mereka emban sebagai pengikut Nabi Musa. Demikianlah
esensi dari ajaran Islam sebagaimana yang dibawa oleh Muhammad bin Abdillah.
Yakni ajakan untuk
membaca dan menggali
ilmu serta mendapatkan kebebasan dan
yang terpenting adalah usaha
melawan kekuatan-kekuatan lalim.
Suatu ajakan yang
universal yang tidak dikhususkan
untuk kalangan tertentu
atau untuk waraa
kulit tertentu atau
untuk kaum tertentu atau untuk
tempat tertentu; suatu ajakan kemanusiaan yang komprehensif yang universal
yang ingin mengikat
ilmu dan kebebasan
dan jihad dengan
tujuan yang lebih
tinggi, yaitu mencapai tauhid
kepada Allah SWT
dan menyucikan-Nya serta
keimanan terhadap hari kemudian dan kebangkitan manusia
semuanya di hadapan Allah SWT. Adalah salah jika ada orang yang menganggap
bahwa Islam hanya memperhatikan aspek akhirat dan melupakan aspek duniawi.
Menurut Islam dunia adalah lembar-lembar jawaban yang akan dikoreksi di
hari akhir. Ia
adalah ujian dan
tempat percobaan bagi
manusia agar manusia mengetahui apakah
ia layak untuk
menda-patkan kemuliaan dari
Allah SWT yang
telah diberikan kepada Adam. Atau apakah iajustru layak untuk jadi
bagian dari tanah neraka Jahim dan batunya, sebagaimana firman Allah SWT:
"Yang bahan bakarnya manusia dan batu. " (QS. al-Baqarah: 24)
Rasulullah saw telah
menjelaskan hikmah dari
penciptaan manusia, penciptaan
kehidupan dan kematian ketika
beliau menyampaikan firman Allah SWT dalam surah al-Mulk:
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji
kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amabiya. " (QS. al-Mulk: 2)
Dunia adalah rumah
pergulatan. Dan Allah
SWT telah menciptakan
kehidupan dan kematian agar manusia
menyadari siapa di
antara mereka yang
terbai amalnya. Tentu
pengetahuan ini tidak akan
menambah kekuasaan Allah SWT. Pengetahuan itu justru dibutuhkan oleh manusia.
Allah SWT menciptakan manusia agar
menusia mengetahui, danpengetahuan yang
paling penting adalah pengetahuan atau pengenalan terhadap diri. Dan
pada hari kiamat manusia akan mengenal dirinya secara sempurna dan ia akan
mengenal balasan yang akan diterimanya secara sempurna. Dan barangkali
mukadimah yang kami
sarikan dari hari
akhir ini mengharuskan kehidupan
di atas bumi dipenuhi
dengan kesucian dan
kebersihan, yaitu diliputi
dengan kemanusiaan yang sempurna yang di dalamnya manusia layak
untuk hidup. Demikianlah Islam yang dibawa oleh Muhammad saw.
Inilah asasnya dan
hakikatnya. Itu adalah
pondasi dan hakikat
yang tidak diciptakan oleh
Muhammad saw dan tak didahului oleh rasul-rasul sebelumnya. Hakikat risalah-
risalah yang dulu semuanya
adalah tauhid dan
mempertahankan
kebenaran serta keimanan terhadap hari akhir dan menyerahkan
jiwa dan anggota tubuh hanya kepada Allah SWT. Yang baru dalam
Islam adalah ilmu,
kebebasan dan universalitas ajaran
Islam serta warna
keadilan yang sangat kental,
sehingga sangat tepat
jika dikatakan bahwa
karakter dari Islam
adalah keadilan. Barangkali bagian ini perlu diperhatikan. Meskipun
agama-agama samawi pada esensinya satu, tetapi kehendak Allah menuntut turunnya
lebih dari agama dan lebih dari satu nabi. Kehendak tersebut menuntut agar pada
setiap agama terdapat karakter yang
khusus yang menggambarkan bentuk
yang paling tepat
sesuai dengan kebutuhan utama
yang di situ
agama itu diturunkan
dan sesuai dengan
waktu saat itu.
Orang- orang Yahudi misalnya, mereka
hidup di tengah-tengah suasana penyembahan berhala dikalangan orang-orang Mesir
kuno. Yahudisme diturunkan pada
Bani Israil yang
suka membangkang dan karena itu, karakter utamanya adalah ketegasan
(as-Sharamah) agar mereka tidak
terpengaruh dengan fenomena
berhalaisme ala Mesir
atau mereka terkena
pengaruh dari tindakan semena-mena Fir'aun. Dengan
ketegasan inilah agama
Yahudi selamat dan
dapat menjadi risalah penyelamatan dan pembebasan. Namun Bani Israil
yang memperbudak manusia dan mempunyai hati yang keras pada saat yang sama mereka
keluar dari Fir'aun
untuk masuk ke
cengkraman orang-orang Romawi
di mana orang-orang Romawi
justru lebih lalim dan lebih kuat dari orang-orang Mesir.
Oleh karena itu, orang-orang Masehi bertanggung jawab untuk
melakukan pembebasan baru tetapi dengan cara yang berbeda sesuai dengan
perubahan keadaan. Cara tersebut adalah menjauhkan penggunaan kekuatan bersenjata
karena kekuatan orang-orang
Romawi mengungguli kekuatan
saat itu dan menguasai bumi secara keseluruhan. Maka kemenangan yang mungkin dapat diperoleh adalah dengan cara menghindari tindak
kekerasan dan lebih mengutamakan pendekatan cinta. Dan pada kali yang lain
orang-orang Masehi memperoleh kemenangan melalui cara kedamaian dan cinta yang
disebarkannya atas imperialisme Romawi dengan segala senjatanya dan
kekuasaannya. Adapun Islam datang sebagai agama yang terakhir dan menyeluruh
yang layak untuk diterapkan di muka bumi,
sehingga Allah SWT
mewariskan bumi dan
apa saja yang
ada di dalamnya kepada orang-orang yang berhak mewarisinya. Oleh karena itu, agama yang terakhir ini harus mempunyai karakter
khusus dan karakter itu adalah karakter keadilan. Ketegasan hanya
cocok untuk zaman
tertentu dan kelompok
tertentu dan keadaan
tertentu, sedangkan cinta adalah contoh
yang tertinggi, tetapi ia tidak dapat menjadi sesuatu tolok ukur
untuk dibandingkan dengan
tindakan-tindakan tertentu atau untuk
dijadikan alat untuk melakukan sesuatu.
Dan jika ia
menjadi tolok ukur
bagi orang-orang yang
memilki perasaan yang tinggi
atau budaya yang tinggi, maka ia tidak
dijadikan tolok ukur umum dan universal. Adapun keadilan, maka ia menjadi karakter Islam
yang berarti keseimbangan dalam sifat-sifat keutamaan dan
meletakkan segala sesuatu
pada tempatnya. Ini
adalah tolok ukur
yang menyeluruh dan barometer
yang akhir. Dan
barangkali kebesaran keadilan
dan pengaruhnya dalam pengaturan
alam bersandarkan kepada firman Allah SWT: "Allah menyatakan bahwasannya
tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang menegakkan keadilan. Para malaikat
dan orang-orang yang
berilmu (juga menyatakan
yang demikian itu)."
(QS. Ali 'Imran: 18) Apabila
Allah SWT dalam Islam merupakan cermin
yang tertinggi, maka keadilan yang
disaksikan oleh Allah
SWT terhadap diri-Nya
sendiri harus menjadi
karakter Islam dan kaum Muslim. Keadilan dalam Islam bukan
hanya keadilan ekonomi atau keadilan hukum atau keadilan dalam
balasan, tctapi ia
mencakup semuanya. Sebelum
semua ini dan
sesudahnya, kcadilan dalam Islam merupakan suatu sistem dalam kehidupan
dan metode utama dalam Islam. Ketika Anda memalingkan pandangan Anda dalam
Islam, maka Anda akan menemukan keadilan menghiasi seluruh
wajah Islam. Di
sana terdapat keadilan
antara agama-agama yang
dulu, keadilan antara individu dan masyarakat, keadilan antara dunia dan
agama, keadilan antara pria dan wanita, keadilan untuk orang-orang yang fakir
dan orang-orang yang kaya, keadilan antara para penguasa dan rakyat, bahkan
dengan keadilan itu sendiri bumi dan langit ditegakkan dan Allah SWT menyebut
diri-Nya sebagai al-'Adl (Yang MahaAdil). Selanjutnya, Islam adalah agama yang
sudah lama sebagaimana lamanya kedatangan para nabi.
Nabi Nuh as berkata
dalam surah Yunus: "Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak
meminta upah sedikit pun darimu. Upahku tidak
lain hanyalah dari
Allah belaka dan
aku disuruh supaya
aku termasuk golongan
orang- orang yang berserah diri (kepadanya)." (QS. Yunus: 72)
Nabi Ibrahim dan
Nabi Ismail as
berkata dalam surah
al-Baqarah saat keduanya
membangun Ka'bah: "Ya Tuhan
kami, terimalah dari
kami (amalan kami),
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya
Tuhan Kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduh patuh kepada Engkau dan
tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji hami, dan
terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Menerima taubat lagi
Maha Penyayang. " (QS. al-Baqarah: 127-128) Nabi Ibrahim
tidak lupa untuk
berwasiat kepada keturunannya dan
di antara mereka
adalah Yakub agar mereka mati dalam keadaan Islam. Allah SWT berfirman:
"Dan Ibrahim telah
mewasiatkan ucapan itu
kepada anaknya, Demikian
pula Yakub. (Ibrahim berkata): 'Hai
anak-anakku,
Sesungguhnya Allah telah
memilih agama ini
bagimu, maka janganlah hamu
mati kecuali dalam
memeluk agama Islam.'" (QS.
al-Baqarah: 132) Ketika kematian mendekati Yakub, beliau
mengumpulkan anak-anaknya di sekelilingnya dan bertanya kepada mereka:
"Apa yang kamu sembah sepeninggalku? Mereka menjawab: 'Kami akan menyembah
Tuhanmu dan Tuhan nenak moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan hhaq, (yaitu) Tuhan Yang
Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh
kepadanya.'" (QS. al-Baqarah:
133) Allah SWT
memberitahu kita dalam surah Yunus tentang perkataan Nabi
Musa kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka
bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah
diri." (QS. Yunus: 84)
Sementara
itu, Nabi Sulaiman
adalah seorang Muslim
sesuai dengan nas
ayat-ayat yang menceritakan
tentang kisahnya bersama Ratu Saba' ketika Ratu tersebut berkata: "Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat lalim terhadap diriku dan aku berserah
diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam." (QS. an-Naml: 44)
Demikian juga Nabi
Yusuf, beliau berdoa
kepada Allah SWT
dan meminta kepadanya
agar mematikannya sebagai orang
Muslim dan memasukannya dalam
kelompok orang-orang yang saleh.
Allah SWT berfirman
dan bercerita tentang
Yusuf dalam surah
Yusuf: "Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah
menganugerahkan
kepadaku sebagaian kerajaan
dan telah mengajarkan kepadaku
sebagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi, Engkaulah
Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan
gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh." (QS.Yusuf: 101) Sementara
itu dalam surah al-Maidah, Allah SWT mewahyukan kepada kaum Hawariyin agar mereka beriman kepadanya
dan kepada rasul-Nya lalu mereka berkata: "Kami telah beriman dan
saksikanlah (wahai rasul)
bahwa Sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang
patuh (kepada seruanmu)."
(QS. al-Maidah: 111) Jadi, Nabi Nuh,
Nabi Ibrahim, Nabi
Ismail, Nabi Yakub,
Nabi Musa Harun,
Nabi Sulaiman, Nabi Yusuf, Nabi
Isa adalah nabi-nabi yang Muslim sesuai dengan nas ayat-ayat tersebut. Maka
seluruh nabi adalah
orang-orang Muslim, lalu
bagaimana Nabi Muhammad
saw sebagai Nabi yang terakhir dikatakan sebagai orang
Muslim yang pertama? Allah SWT berfirman dalam surah al-An'am yang
ditujukan kepada Nabi
yang terakhir: "Katakanlah: 'Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian
itulah yang diperintahkan kepadaku
dan aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada
Allah).'" (QS. al-An'am: 162-163) Maka, bagaimana beliau menjadi orang
Muslim yang pertama, padahal penamaan umat beliau dengan sebutan
al-Muslimin adalah penamaan yang
sebenarnya sudah dahulu
dikenal di kalangan nabi-nabi
yang terdahulu dan kedatangannya ke alam wujud dan penamaan agamanya dengan
sebutan al-Islam sebenarnya berhutang kepada kakeknya yang jauh, yaitu Nabi
Ibrahim. Allah SWT berfirman dalam surah al-Hajj:
"Dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk
kamu dalam agama
suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia
telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu. " (QS.
al-Hajj: 78) Tidak ada pertentangan dalam
pendahuluan para nabi
dengan sebutan al-Muslimin
daripada Rasulullah saw dan kedudukan beliau sebagai orang Muslim yang
pertama. Tentu kata al-Awwal (yang
pertama) di sini
tidak dipahami dari
sisi waktu atau
masa kemunculan, tetapi
yang dimaksud dengan orang Muslim di sini adalah akmalul muslimin (orang
yang paling sempurna di antara orang-orang Muslim). Suatu kali Aisyah pernah
ditanya tentang akhlaknya Rasulullah saw lalu dia menjawab dengan kalimatnya
yang singkat: "Akhlak beliau adalah Al-Qur'an." Kita mengetahui
bahwa Al-Qur'an al-Karim
menetapkan akhlak yang
mulia meskipun dalam batasannya yang sederhana dan rendah,
dan menyebutkan keutamaan akhlak dalam tingkatannya yang tinggi.
Oleh karena itu,
akhlak seperti apa yang dimiliki oleh Rasulullah saw: apakah beliau memiliki
akhlak yang sifatnya tengah-tengah,
atau apakah beliau mendahului dalam kebaikan, atau apakah beliau termasuk
ashabul yamin (orang-orang yang berasal di sebelah kanan), atau apakah
beliau termasuk al-Muqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allah SWT)?
Rasulullah saw tidak hanya memiliki semua karakter tersebut dan atribut
tersebut, bahkan kedudukan beliau lebih
dari itu semua.
Beliau berada di
puncak dari segala
puncak keutamaan akhlak,
sehingga beliau berhak untuk mendapatkan sebutan dari Allah SWT: "Dan
sungguh pada dirimu terdapat budi pekerti yang agung. " (QS. al-Qalam: 4)
Para Mufasir berbeda pendapat tentang makna dari al-Huluqul 'adzim (budi
pekerti yang agung). Sebagian
mereka mengatakan bahwa
yang dimaksud adalah
Al-Qur'an. Sebagian yang
lain mengatakan itu adalah Islam. Ada juga yang mengatakan bahwa beliau
tidak memiliki sesuatu kecuali keinginan untuk menuju jalan Allah SWT. Dalam
Al-Qur'an al-Karim terdapat penjelasan tentang derajat beliau yang tinggi dalam
dua ayat yang mulia. Ayat
yang pertama adalah
firman-Nya: "Katakanlah: 'Sesungguhnya Shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian
itulah yang diperintahkan kepadaku
dan aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada
Allah).'" (QS. al-An'am: 162-163)