Mushola Al-Islah Jl leces no.7 Sonosari Kab.Malang kumpulan doa rezeki

Selasa, 06 Agustus 2024

Mudhaharoh,Mukasyafah, Musyahadah, dan Tajalli

 Mukasyafah, Musyahadah, dan Tajalli

Mukasyafah, Musyahadah, dan Tajalli

Setelah mengalami mudharah(belajar pada kitab-kitab), seseorang akan mengalami mukasyafah, yaitu kehadiran hati dengan segala kejelasan yang diperolehnya, sehingga hati tidak perlu lagi berpikir dan merenungi dalil-dalil. Pada saat itulah, hati memperoleh kejelasan yang begitu terang-benderang. Setelah mukasyafah ini, seseorang akan mengalami musyahadah. Yaitu, kehadiran Tuhan. Menurut Imam Junaid al-Baghdadi, musyahadah adalah kehadiran wujud Tuhan dengan hilangnya wujudmu sendiri.

Dengan begitu, orang yang mengalami muhadharah, ia akan terus-menerus terikat dengan ayat-ayat al-Quran. Orang yang mengalami mukasyafah, ia terikat dengan hamparan sifat-sifat Tuhan. Sedangkan orang yang mengalami musyahadah, ia sendiri menjadi wadah bagi manifestasi dzat Tuhan. Umar bin Utsman al-Makki mengatakan, musyahadah ini adalah datangnya pancaran cahaya tajalli secara bertubi-tubi ke dalam hati seseorang, tanpa terhalang oleh tabir apapun atau terputus sekejap pun (Imam al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal wa al-Muwasshil ila Dzi al-Izzah wa al-Jalal, Jam'iah al-Buhuts fi al-Qiyam wa al-Falsafah, Washington, USA, 1999: 260).

Dengan begitu, mukasyafah adalah kondisi awal seseorang terhubung dengan dimensi spiritual. Ketika ia memasuki kondisi mukasyafah, maka saat itu ia bisa masuk ke dimensi atau tahapan berikutnya, yaitu musyahadah atau memandang langsung kepada Tuhan. Sedangkan Tuhan yang menampakkan diri-Nya kepada makhluk disebut Tajalli.

Mukasyafah itu sendiri terbagi menjadi tiga macam: pertama, mukasyafah melalui  ilmu pengetahuan. Seseorang dianggap mengalami mukasyafah dengan  ilmu apabila pemahaman, perenungan, dan pendapatnya dapat meraih kebenaran. Kebenaran sainsitifk disebut mukaysafah bi al-'ilm.

Kedua, mukasyafah dengan Ahwal. Apabila seseorang mampu melihat adanya peningkatan Hal yang dialaminya, sehingga ia merasa ahwal-nya jauh lebih banyak dan lebih baik dari sebelumnya, maka itu disebut mukasyafah bi al-hal.

Ketiga, mukasyafah dengan perolehan. Seseorang yang mendapatkan anugerah berupa makna-makna melalui isyarat-isyarat yang didengarnya selama mengalami mukasyafah, maka itu disebut mukasyafah bi al-wajdi (Muhammad bin Abdul Qadir Kailani, Abwab at-Tasawuf, Dar al-Kutub al-Ilmiah Beirut, 2010: 267).

Dengan kata lain, jenis-jenis mukasyafat di atas dibedakan berdasarkan objeknya. Mukasyafah tentang objek sainstifik disebut mukasyafah bil  ilmi. Mukasyafah karena perkembangna ahwal spiritual, maka disebut mukasyafah bil hal. Sedangkan mukasyafah karena mendapatkan perolehan kebenaran isyarat maka disebut mukasyafah bil wajdi. Jadi, mukasyafah ini terjadi lebih dulu dari pada musyahadah.Namun begitu, ada pandangan berbeda dari Asy-Sya’rani tentang keutamaan mukasyafah dan musyahadah.

Abdul Wahhab bin Ahmad asy-Sya'rani mengatakan; mukasyafah itu terkait dengan makna-makna, sedangkan musyahadah berkaitan dengan dzat-dzat. Musyahadah itu untuk mendapatkan sesuatu yang diberi nama, sedangkan mukasyafah hanya untuk nama-nama saja. Karena itulah, mukasyafah menurut kami jauh lebih utama dari pada musyadahah, kecuali musyahadah-nya adalah musyadah Dzat, maka tentu itu musyahadah jauh lebih utama dari mukasyafah (Abdul Wahhab bin Ahmad asy-Sya'rani, Lawaqih al-Anwar al-Qudsiah al-Muntaqat min al-Futuhan al-Makkiah li Muhyiddin Ibni Arabi, Dar al-Kutub al-Ilmiah Beirut, 2015: 2/198).

Di sini, Asy-Sya’rani lebih berhati-hati untuk mengatakan kemungkinan musyahadah terhadap dzat Allah. Seandainya pandangan para sufi itu benar, tentang kemungkinan musyahadah dzat Allah, maka menurut asy-Sya’rani itu adalah musyahadah yang jauh lebih baik dari mukasyafah. Karena mukasyafah berurusan untuk menyingkap hal-hal yang kasar, dan musyahadah menyingkap hal-hal yang lebih halus. Dzat Allah adalah hal paling halus, karenanya musyahadah dzat Allah jauh lebih utama dari mukasyafah.

Dalam kondisi seseorang sedang musyahadah, setelah sebelumnya menglmani mukasyafah, maka saat ituah Allah bertajalli. Tajalli adalah munculnya Dzat Allah dan sifat-sifat ilahiah. Jadi, tidak mungkin ada musyahadah tanpa terjadi tajalli (Muhammad Ali at-Tahanawi, Mawsu'ah Kasysyaf Isthilahat al-Funun wa al-Ulum, Maktabah Lubnan Nasyirun, 1996: 1/385). Dengan kata lain, ketika seseorang masuk ke dalam kondisi musyahadah, maka sasat itu Allah ber-tajalli.

Tajalli Allah tidak harus berupa tajalli dzat, bisa juga tajalli asma’ ilahiah. Tajalli Dzat ini merangkum seluruh bentuk tajalli. Karenanya, Allah bisa ber-tajalli dengan cara lain selain tajalli dzat. Tetapi, ketika tajalli dzat ini terjadi, maka tajalli yang lain akan tertutupi. Seperti saat matahari di langit muncul, maka cahaya bintang-bintang tertutupi. Walaupun bintang itu ada tetapi cahayanya tertutupi cahaya matahari (Muhammad Ali At-Tahanawi, 1996: 1238).

Bagaimana Allah itu dapat di hijab oleh sesuatu, sedangkan Allah yg menjadikan segala sesuatu.

Dan bagaimana Allah dapat di hijab oleh sesuatu, sedangkan jika tidak ada Allah, maka tidak ada sesuatu.

Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kedekatan atau taqarrub sampai² seakan-akan melihat-Nya, adalah akibat dari kesadaran kuat bahwa “Dialah yg melihat kita.” Kesadaran jiwa bahwa Allah melihat kita terus menerus, menimbulkan pantulan pada diri kita, yg membukakan mata hati kita dan sirr kita untuk memandang-Nya.

Kesadaran MUSYAHADAH (menyaksikan) dan Memandang Allah, akan mengekspresikan sebuah pengalaman demi pengalaman yg berbeda-beda antar para Sufi, sesuai dengan tingkat maqam ruhaniyah (kondisi ruhani) masing². Ada yg menyadari dalam pandangan tingkat Asma’ Allah, ada pula yg sampai ke Sifat Allah, bahkan ada yg sampai ke Dzat Allah. Lalu kemudian turun kembali melihat Sifat²Nya, kemudian Asma’²Nya, lalu melihat alam semesta dan makhluk-Nya.

Untuk menyikapi dalam hal MUSYAHADAH dan MUKASYAFAH ini sepertinya kita perlu mengoreksi diri kita sendiri lewat perkataan Syaikh Abu Yazid al-Busthami, yaitu:

“Apa pun yg engkau bayangkan tentang Allah, Dia bertempat, berwarna, berpenjuru, bergerak, diam, itu semua pasti bukan Allah. Karena sifat² tersebut adalah sifat makhluk.”

Kontemplasi (pengosongan diri) tanpa bimbingan ruhani seorang Guru Mursyid yg Kamil Mukammil hanya akan menggapai jalan yg buntu saja meskipun dalam praktek Muraqabah, Musyahadah maupun Ma’rifah. Jadi agar tidak menjadi kesia-siaan maka sebaiknya untuk mencapai MUSYAHADAH maka haruslah dalam bimbingan seorang Guru Mursyid yg Kamil lagi Mukammil.

Bagi mereka yg dicahayai oleh Allah maka, “Telah terpancar cahayanya dan jelaslah kegembiraanya, lalu ia pejamkan matanya dari dunia dan berpaling darinya, sama sekali dunia bukan tempat tinggal dan bukan tempat ketentraman. Namun ia jiwanya bangkit di dalam dunia itu, semata menuju Allah Ta’ala, berjalan di dalamnya sembari memohon pertolongan dari Allah untuk datang kepada Allah.”

Hamparan tekadnya tak pernah terhenti, dan selamanya berjalan, sampai lunglai di hadapan Hadratul Quds dan hamparan kemesraan dengan-Nya, sebagai tempat Mufatahah, Muwajjahah, Mujalasah, Muhadatsah, Musyahadah, dan Muthala’ah.”

Syaikh Ibnu Atha’illah menyebutkan enam hal dalam soal hubungan hamba dengan Allah di hadapan Allah, yg harus dimaknai dengan rasa terdalam, untuk memahami dan membedakan satu dengan yg lain.

MUFATAHAH, permulaan hamba menghadap-Nya di hamparan remuk redam dirinya dan munajat, lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma’, Sifat dan keagungan Dzat-Nya, agar hamba luruh disana dan lupa dari segala yg ada bersama-Nya.

MUWAJJAHAH, saling berhadapan, adalah sikap menghadapnya hamba pada Tuhannya tanpa sedikit pun dan sejenak pun berpaling dari-Nya, tanpa alpa dari mengingat-Nya. Allah menemui dengan Cahaya-Nya dan hamba menghadap-Nya dengan Sirr-nya, hingga sama sekali tidak ada peluang untuk

melihat selain-Nya, dan tidak menyaksikan kecuali hanya Dia.

MUJALASAH, menetap dalam majelis-Nya dengan tetap teguh terus berdzikir tanpa alpa, patuh tunduk tanpa lalai, beradab penuh tanpa tergoda, dan hamba memuliakan-Nya seperti penghormatan cinta dan kemesraan agung, lalu disanalah Allah Ta’ala berfirman dalam hadits Qudsi, “Aku berada dalam majelis yg berdzikir pada-Ku.”

MUHADATSAH, dialog, yaitu menempatkan sirr (rahasia bathin) dengan mengingat-Nya dan menghadap-Nya dengan hal² yg ditampakkan Allah pada sirr itu, hingga cahaya-Nya meluas dan rahasia²Nya bertumpuan. Inilah yg disabdakan Rasulullah Saw., “Pada umat² terdahulu ada kalangan yg disebut sebagai kalangan yg berdialog dengan Allah, dan pada umatku pun ada, maka Umar di antaranya.”

MUSYAHADAH, ketersingkapan yg nyata, yg tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, tak ada imajinasi maupun keraguan. Dikatakan, “Syuhud itu dari penyaksian yg disaksikan dan tersingkapnya Wujud.”

MUTHALA’AH, keselarasan dengan Tauhid dalam setiap kepatuhan, keta’atan dan bathin, semuanya kembali pada hakikat tanpa adanya kontemplasi atau analisa, dan setiap yg tampak senantiasa muncul rahasia-Nya karena keparipurnaan-Nya.

Dari uraian diatas, bahwa Imam Al-Ghazali mencoba menjelaskan hubungan antara ilmu mukasyafah yg biasa juga disebut dengan Ilmu Laduni dengan ilmu ta’limiyah, yaitu laksana hubungan naskah asli dengan duplikatnya.

 

Imam Al-Ghazali mengklasifikasikan pengetahuan pada tiga tingkatan sesuai dengan dasar pengetahuan dan metode yg digunakan.

 

Pengetahuan awam diperoleh melalui jalan meniru atau taqlid. Sedangkan pengetahuan para mutakallimin diperoleh melalui pembuktian rasional. Kualitas peringkat pertama dan kedua ini hampir sama, sedangkan peringkat ketiga adalah yg tertinggi kualitasnya, yaitu pengetahuan para sufi yg diperoleh melalui metode penyaksian langsung dengan radar pendeteksi qalb yg bening.

Dalam perkembangan ilmu Tasawuf, para sufi membagi kasyf pada dua tingkatan, yakni kasyf aqli dan kasyf bashari.

Kasyf Aqli

Kasyf aqli adalah penyingkapan melalui akal. Ini merupakan tingkatan pengetahuan intuitif paling rendah. Allah tidak bisa diketahui dan dicintai melalui akal, karena akal membelenggu dan menghalangi manusia dalam tahap tahap akhir taraqqi-nya (pendakiannya).

Kasyf Bashari

Adapun Kasyf Bashari adalah penyingkapan visual yg terjadi melalui penciptaan yg langsung dilakukan Allah.

Dan dalam suatu peristiwa, tempat, tindakan, atau ucapan bagi seorang sufi bisa menjadi tempat bagi peningkatan visual ini.

Allah adalah Yang Maha Mutlak. Dia adalah Keindahan dan Keagungan.

Melalui makhluk-Nya, Allah bisa mengungkapkan Diri-Nya pada hamba-Nya lewat salah satu Nama Keindahan-Nya yg akan menimbulkan kemanisan dan kesenangan atau lewat salah satu Nama Keagungan-Nya yg akan melahirkan ketakziman dan ketakutan.

Begitulah kasyf, kondisi dimana hati seseorang bersih-bening, sehingga dengannya bisa melihat dan menyaksikan apa yg selama ini terhijab oleh dosa dan materi keduniaan.

Musyahadah

MUSYAHADAH adalah penyaksian atas ketersingkapan hijab yg nyata, yg tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, serta tak ada lagi imajinasi maupun keraguan sedikitpun. Dikatakan, “Syuhud itu dari penyaksian yg disaksikan dan tersingkapnya Wujud.”

Di dalam Al-Qur’anul Karim disebutkan tentang MUSYAHADAH/penyaksian seperti Ayat di bawah ini:

 

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

 

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 115)

 

Juga Allah berfirman:

إِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yg menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yg benar, dan aku bukanlah termasuk orang² yg mempersekutukan Tuhan.” (QS. Al-An’am: 79)

Syaikh Ibnu Atha’illah menggambarkan secara bijak dalam definisi musyahadah yaitu:

Alam semesta ini gelap, dan sebenarnya menjadi terang karena dicahayai Allah di dalamnya. Karena itu siapa yg melihat semesta, namun tidak menyaksikan Allah di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelum dan sesudahnya, benar² ia telah dikaburkan dari wujud Cahaya, dan tertutup dari matahari ma’rifat oleh mendung² duniawi semesta.”

Musyahadah yaitu dapat diartikan dengan Menyaksikan Allah.

Sebenarnya dalam mukasyafah, yaitu tiada yg menghalangi diri hamba dengan Allah. Namun yg menghalangi adalah prasangka hamba itu sendiri karena dia berprasangka adanya sesuatu selain Allah.

 Download pengertian Mukasyafah,Musyahadah dan Tajalli

Mudhaharoh,Mukasyafah, Musyahadah, dan Tajalli


0 comments:

Posting Komentar