Mukasyafah, Musyahadah, dan Tajalli
Setelah mengalami mudharah(belajar
pada kitab-kitab), seseorang akan mengalami mukasyafah, yaitu kehadiran
hati dengan segala kejelasan yang diperolehnya, sehingga hati tidak perlu lagi
berpikir dan merenungi dalil-dalil. Pada saat itulah, hati memperoleh kejelasan
yang begitu terang-benderang. Setelah mukasyafah ini, seseorang akan mengalami
musyahadah. Yaitu, kehadiran Tuhan. Menurut Imam Junaid al-Baghdadi, musyahadah
adalah kehadiran wujud Tuhan dengan hilangnya wujudmu sendiri.
Dengan begitu, orang yang mengalami muhadharah,
ia akan terus-menerus terikat dengan ayat-ayat al-Quran. Orang yang
mengalami mukasyafah, ia terikat dengan hamparan sifat-sifat Tuhan. Sedangkan
orang yang mengalami musyahadah, ia sendiri menjadi wadah bagi manifestasi dzat
Tuhan. Umar bin Utsman al-Makki mengatakan, musyahadah ini adalah datangnya
pancaran cahaya tajalli secara bertubi-tubi ke dalam hati seseorang, tanpa
terhalang oleh tabir apapun atau terputus sekejap pun (Imam al-Ghazali,
al-Munqidz min al-Dhalal wa al-Muwasshil ila Dzi al-Izzah wa al-Jalal, Jam'iah
al-Buhuts fi al-Qiyam wa al-Falsafah, Washington, USA, 1999: 260).
Dengan begitu, mukasyafah adalah
kondisi awal seseorang terhubung dengan dimensi spiritual. Ketika ia memasuki
kondisi mukasyafah, maka saat itu ia bisa masuk ke dimensi atau tahapan
berikutnya, yaitu musyahadah atau memandang langsung kepada Tuhan. Sedangkan
Tuhan yang menampakkan diri-Nya kepada makhluk disebut Tajalli.
Mukasyafah itu sendiri terbagi menjadi tiga macam: pertama, mukasyafah melalui ilmu pengetahuan. Seseorang dianggap
mengalami mukasyafah dengan ilmu apabila
pemahaman, perenungan, dan pendapatnya dapat meraih kebenaran. Kebenaran
sainsitifk disebut mukaysafah bi al-'ilm.
Kedua, mukasyafah dengan Ahwal.
Apabila seseorang mampu melihat adanya peningkatan Hal yang dialaminya,
sehingga ia merasa ahwal-nya jauh lebih banyak dan lebih baik dari sebelumnya,
maka itu disebut mukasyafah bi al-hal.
Ketiga, mukasyafah dengan perolehan.
Seseorang yang mendapatkan anugerah berupa makna-makna melalui isyarat-isyarat
yang didengarnya selama mengalami mukasyafah, maka itu disebut mukasyafah bi
al-wajdi (Muhammad bin Abdul Qadir Kailani, Abwab at-Tasawuf, Dar al-Kutub
al-Ilmiah Beirut, 2010: 267).
Dengan kata lain, jenis-jenis
mukasyafat di atas dibedakan berdasarkan objeknya. Mukasyafah tentang objek
sainstifik disebut mukasyafah bil ilmi.
Mukasyafah karena perkembangna ahwal spiritual, maka disebut mukasyafah bil
hal. Sedangkan mukasyafah karena mendapatkan perolehan kebenaran isyarat
maka disebut mukasyafah bil wajdi. Jadi, mukasyafah ini terjadi lebih dulu
dari pada musyahadah.Namun begitu, ada pandangan berbeda dari Asy-Sya’rani
tentang keutamaan mukasyafah dan musyahadah.
Abdul Wahhab bin Ahmad asy-Sya'rani
mengatakan; mukasyafah itu terkait dengan makna-makna, sedangkan musyahadah
berkaitan dengan dzat-dzat. Musyahadah itu untuk mendapatkan sesuatu yang
diberi nama, sedangkan mukasyafah hanya untuk nama-nama saja. Karena itulah,
mukasyafah menurut kami jauh lebih utama dari pada musyadahah, kecuali
musyahadah-nya adalah musyadah Dzat, maka tentu itu musyahadah jauh lebih utama
dari mukasyafah (Abdul Wahhab bin Ahmad asy-Sya'rani, Lawaqih al-Anwar
al-Qudsiah al-Muntaqat min al-Futuhan al-Makkiah li Muhyiddin Ibni Arabi, Dar
al-Kutub al-Ilmiah Beirut, 2015: 2/198).
Di sini, Asy-Sya’rani lebih
berhati-hati untuk mengatakan kemungkinan musyahadah terhadap dzat Allah.
Seandainya pandangan para sufi itu benar, tentang kemungkinan musyahadah dzat
Allah, maka menurut asy-Sya’rani itu adalah musyahadah yang jauh lebih baik
dari mukasyafah. Karena mukasyafah berurusan untuk menyingkap hal-hal yang
kasar, dan musyahadah menyingkap hal-hal yang lebih halus. Dzat Allah adalah
hal paling halus, karenanya musyahadah dzat Allah jauh lebih utama dari mukasyafah.
Dalam kondisi seseorang sedang
musyahadah, setelah sebelumnya menglmani mukasyafah, maka saat ituah Allah
bertajalli. Tajalli adalah munculnya Dzat Allah dan sifat-sifat ilahiah. Jadi,
tidak mungkin ada musyahadah tanpa terjadi tajalli (Muhammad Ali at-Tahanawi,
Mawsu'ah Kasysyaf Isthilahat al-Funun wa al-Ulum, Maktabah Lubnan Nasyirun,
1996: 1/385). Dengan kata lain, ketika seseorang masuk ke dalam kondisi
musyahadah, maka sasat itu Allah ber-tajalli.
Tajalli Allah tidak harus berupa
tajalli dzat, bisa juga tajalli asma’ ilahiah. Tajalli Dzat ini merangkum
seluruh bentuk tajalli. Karenanya, Allah bisa ber-tajalli dengan cara lain
selain tajalli dzat. Tetapi, ketika tajalli dzat ini terjadi, maka tajalli yang
lain akan tertutupi. Seperti saat matahari di langit muncul, maka cahaya
bintang-bintang tertutupi. Walaupun bintang itu ada tetapi cahayanya tertutupi
cahaya matahari (Muhammad Ali At-Tahanawi, 1996: 1238).
Bagaimana Allah itu dapat di hijab
oleh sesuatu, sedangkan Allah yg menjadikan segala sesuatu.
Dan bagaimana Allah dapat di hijab
oleh sesuatu, sedangkan jika tidak ada Allah, maka tidak ada sesuatu.
Hal ini menunjukkan bahwa sebuah
kedekatan atau taqarrub sampai² seakan-akan melihat-Nya, adalah akibat dari
kesadaran kuat bahwa “Dialah yg melihat kita.” Kesadaran jiwa bahwa Allah
melihat kita terus menerus, menimbulkan pantulan pada diri kita, yg membukakan
mata hati kita dan sirr kita untuk memandang-Nya.
Kesadaran MUSYAHADAH (menyaksikan)
dan Memandang Allah, akan mengekspresikan sebuah pengalaman demi pengalaman yg
berbeda-beda antar para Sufi, sesuai dengan tingkat maqam ruhaniyah (kondisi
ruhani) masing². Ada yg menyadari dalam pandangan tingkat Asma’ Allah, ada pula
yg sampai ke Sifat Allah, bahkan ada yg sampai ke Dzat Allah. Lalu kemudian
turun kembali melihat Sifat²Nya, kemudian Asma’²Nya, lalu melihat alam semesta
dan makhluk-Nya.
Untuk menyikapi dalam hal MUSYAHADAH
dan MUKASYAFAH ini sepertinya kita perlu mengoreksi diri kita sendiri lewat
perkataan Syaikh Abu Yazid al-Busthami, yaitu:
“Apa pun yg engkau bayangkan tentang Allah, Dia bertempat, berwarna, berpenjuru, bergerak, diam, itu semua pasti bukan Allah. Karena sifat² tersebut adalah sifat makhluk.”
Kontemplasi (pengosongan diri) tanpa bimbingan ruhani seorang Guru Mursyid yg Kamil Mukammil hanya akan menggapai jalan yg buntu saja meskipun dalam praktek Muraqabah, Musyahadah maupun Ma’rifah. Jadi agar tidak menjadi kesia-siaan maka sebaiknya untuk mencapai MUSYAHADAH maka haruslah dalam bimbingan seorang Guru Mursyid yg Kamil lagi Mukammil.
Bagi mereka yg dicahayai oleh Allah
maka, “Telah terpancar cahayanya dan jelaslah kegembiraanya, lalu ia pejamkan
matanya dari dunia dan berpaling darinya, sama sekali dunia bukan tempat
tinggal dan bukan tempat ketentraman. Namun ia jiwanya bangkit di dalam dunia
itu, semata menuju Allah Ta’ala, berjalan di dalamnya sembari memohon
pertolongan dari Allah untuk datang kepada Allah.”
Hamparan tekadnya tak pernah
terhenti, dan selamanya berjalan, sampai lunglai di hadapan Hadratul Quds dan
hamparan kemesraan dengan-Nya, sebagai tempat Mufatahah, Muwajjahah, Mujalasah,
Muhadatsah, Musyahadah, dan Muthala’ah.”
Syaikh Ibnu Atha’illah menyebutkan
enam hal dalam soal hubungan hamba dengan Allah di hadapan Allah, yg harus
dimaknai dengan rasa terdalam, untuk memahami dan membedakan satu dengan yg
lain.
MUFATAHAH, permulaan hamba menghadap-Nya di hamparan remuk redam dirinya dan
munajat, lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma’, Sifat dan keagungan
Dzat-Nya, agar hamba luruh disana dan lupa dari segala yg ada bersama-Nya.
MUWAJJAHAH, saling berhadapan, adalah sikap menghadapnya hamba pada Tuhannya
tanpa sedikit pun dan sejenak pun berpaling dari-Nya, tanpa alpa dari
mengingat-Nya. Allah menemui dengan Cahaya-Nya dan hamba menghadap-Nya dengan
Sirr-nya, hingga sama sekali tidak ada peluang untuk
melihat selain-Nya, dan tidak
menyaksikan kecuali hanya Dia.
MUJALASAH, menetap dalam majelis-Nya dengan tetap teguh terus berdzikir tanpa alpa, patuh tunduk tanpa lalai, beradab penuh tanpa tergoda, dan hamba memuliakan-Nya seperti penghormatan cinta dan kemesraan agung, lalu disanalah Allah Ta’ala berfirman dalam hadits Qudsi, “Aku berada dalam majelis yg berdzikir pada-Ku.”
MUHADATSAH, dialog, yaitu menempatkan sirr (rahasia bathin) dengan
mengingat-Nya dan menghadap-Nya dengan hal² yg ditampakkan Allah pada sirr itu,
hingga cahaya-Nya meluas dan rahasia²Nya bertumpuan. Inilah yg disabdakan
Rasulullah Saw., “Pada umat² terdahulu ada kalangan yg disebut sebagai kalangan
yg berdialog dengan Allah, dan pada umatku pun ada, maka Umar di antaranya.”
MUSYAHADAH, ketersingkapan yg nyata, yg tidak lagi butuh bukti dan penjelasan,
tak ada imajinasi maupun keraguan. Dikatakan, “Syuhud itu dari penyaksian yg
disaksikan dan tersingkapnya Wujud.”
MUTHALA’AH, keselarasan dengan Tauhid dalam setiap kepatuhan, keta’atan dan
bathin, semuanya kembali pada hakikat tanpa adanya kontemplasi atau analisa,
dan setiap yg tampak senantiasa muncul rahasia-Nya karena keparipurnaan-Nya.
Dari uraian diatas, bahwa Imam
Al-Ghazali mencoba menjelaskan hubungan antara ilmu mukasyafah yg biasa juga
disebut dengan Ilmu Laduni dengan ilmu ta’limiyah, yaitu laksana hubungan
naskah asli dengan duplikatnya.
Imam Al-Ghazali mengklasifikasikan
pengetahuan pada tiga tingkatan sesuai dengan dasar pengetahuan dan metode yg
digunakan.
Pengetahuan awam diperoleh melalui
jalan meniru atau taqlid. Sedangkan pengetahuan para mutakallimin diperoleh
melalui pembuktian rasional. Kualitas peringkat pertama dan kedua ini hampir
sama, sedangkan peringkat ketiga adalah yg tertinggi kualitasnya, yaitu
pengetahuan para sufi yg diperoleh melalui metode penyaksian langsung dengan
radar pendeteksi qalb yg bening.
Dalam perkembangan ilmu Tasawuf,
para sufi membagi kasyf pada dua tingkatan, yakni kasyf aqli dan kasyf bashari.
Kasyf Aqli
Kasyf aqli adalah penyingkapan
melalui akal. Ini merupakan tingkatan pengetahuan intuitif paling rendah. Allah
tidak bisa diketahui dan dicintai melalui akal, karena akal membelenggu dan
menghalangi manusia dalam tahap tahap akhir taraqqi-nya (pendakiannya).
Kasyf Bashari
Adapun Kasyf Bashari adalah
penyingkapan visual yg terjadi melalui penciptaan yg langsung dilakukan Allah.
Dan dalam suatu peristiwa, tempat,
tindakan, atau ucapan bagi seorang sufi bisa menjadi tempat bagi peningkatan
visual ini.
Allah adalah Yang Maha Mutlak. Dia
adalah Keindahan dan Keagungan.
Melalui makhluk-Nya, Allah bisa
mengungkapkan Diri-Nya pada hamba-Nya lewat salah satu Nama Keindahan-Nya yg
akan menimbulkan kemanisan dan kesenangan atau lewat salah satu Nama
Keagungan-Nya yg akan melahirkan ketakziman dan ketakutan.
Begitulah kasyf, kondisi dimana hati
seseorang bersih-bening, sehingga dengannya bisa melihat dan menyaksikan apa yg
selama ini terhijab oleh dosa dan materi keduniaan.
Musyahadah
MUSYAHADAH adalah penyaksian atas ketersingkapan hijab yg nyata, yg tidak
lagi butuh bukti dan penjelasan, serta tak ada lagi imajinasi maupun keraguan
sedikitpun. Dikatakan, “Syuhud itu dari penyaksian yg disaksikan dan
tersingkapnya Wujud.”
Di dalam Al-Qur’anul Karim
disebutkan tentang MUSYAHADAH/penyaksian seperti Ayat di bawah ini:
وَلِلَّهِ
الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ
اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan
kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 115)
Juga Allah berfirman:
إِنِّى
وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَآ أَنَا۠
مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya
aku menghadapkan diriku kepada Rabb yg menciptakan langit dan bumi, dengan
cenderung kepada agama yg benar, dan aku bukanlah termasuk orang² yg mempersekutukan
Tuhan.” (QS. Al-An’am: 79)
Syaikh Ibnu Atha’illah menggambarkan
secara bijak dalam definisi musyahadah yaitu:
“Alam
semesta ini gelap, dan sebenarnya menjadi terang karena dicahayai Allah di
dalamnya. Karena itu siapa yg melihat semesta, namun tidak menyaksikan Allah di
dalamnya, atau di sisinya, atau sebelum dan sesudahnya, benar² ia telah
dikaburkan dari wujud Cahaya, dan tertutup dari matahari ma’rifat oleh mendung²
duniawi semesta.”
Musyahadah yaitu dapat diartikan
dengan Menyaksikan Allah.
Sebenarnya dalam mukasyafah, yaitu
tiada yg menghalangi diri hamba dengan Allah. Namun yg menghalangi adalah
prasangka hamba itu sendiri karena dia berprasangka adanya sesuatu selain
Allah.
0 comments:
Posting Komentar