Abul Mugits al-Husain bin Mansur al-Hallaj
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu al-Mughits al-Husain Bin Mansur bin Muhammad al-Baidhawi, tetapi kemudian lebih dikenal sebagai Al-Hallaj. Ia lahir pada tahun 244 H/ 858 M di Thur, salah satu desa sebelah Timur Laut Baidha’ di Persia. Mengenai sebab-sebabnya hukuman masih sekarang menjadi kontroversial.
Kebanyakan orang mengemukakan
bahwa sebab-sebab hukumannya dilaksanakan di karenakan ada perbedaan pemahaman
dengan ulama fikih yang di lindungi oleh pemerintah. Dia dihukum bunuh dengan
terlebih dahulu dicambuk, lalu disalib, kemudian dipotong kedua tangan dan
kakinya, dipenggal lehernya, kemudian potongan-potongan tubuh itu dibiarkan
beberapa hari, baru kemudian di bakar, serta abunya dihanyutkan di sungai
Dajlah. Pada riwayat lain disebutkan bahwa saat digantung ia dipecut 1000 kali
tanpa mengeluh, lalu tangan dan kakinya dipotong juga tanpa mengeluh, serta
kepalanya dipancung.
Pemikiran Al-Hallaj yang sangat kontroversial yakni Hulul, Nur
Muhammad, dan kesamaan semua agama. Hulul artinya Tuhan mengambil tempat dalam
tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiaannya melalui fana. Ajaran Al-Hallaj
yang lain adalah tentang haqiqah Muhammadiyah yakni
kejadian alam ini yang berasal dari nur Muhammad, menurut Al-Hallaj, bahwa Nabi
Muhammad SAW terjadi dari dua wujud yaitu wujud qadim dan azali serta
sebagai manusia (Nabi) Al-Hallaj mengatakan bahwa agama-agama yang ada di dunia
ini pada hakikatnya sama saja, maksudnya yang di sembah sama yaitu menuju Tuhan
yang Maha Esa. Abul Abbas bin Atha’ Al-Bagdadi, Muhammad bin Khafif Asy
Syairazi, Ibrahim bin Muhammad An Nazarbazi, semuanya membenarkannya
Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur
yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan
keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya
adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih
kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang
bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik
antara Baidhah, Wasith,
sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar.
Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa
itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran,
dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah,
dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini,
dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya
al-Hallaj.
Menjadi guru
Usai membahas pemikirannya dengan sufi-sufi lain,
banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hallaj yang
kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj
kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah
besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya.
Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau
mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya,
yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan
gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka,
mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan
menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj
memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi.
Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa
tahun, tetapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan
pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu,
kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam
perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari
berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia
juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang
kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali
di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang
berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati
jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar
bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap
rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah
besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat
sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua.
Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus
pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan
Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi
terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas
mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara
wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung
selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang
dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
Akulah
Kebenaran! dan hari-hari terakhir
Tahun 913M adalah titik balik bagi karya
spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya
dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan
diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia
merasa bahwa hijab-hijab ilusi
telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan
sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah
Kebenaran" (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan
ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta
Allah pada menusia.
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di
masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: "Wahai kaum muslimin,
bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah
menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal
memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk
ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian, al-Hallaj
berpaling pada Allah seraya berseru, "Ampunilah mereka, tetapi
hukumlah aku atas dosa-dosa mereka."
Tetapi, kata-kata ini justru mengilhami orang-orang
untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka.
Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak
ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang
diembannya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan
dalam masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di
luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid
al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau
juru selamat. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya
sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut
pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam
posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M
ia ditangkap.
Al-Hallaj dipenjara selama hampir sembilan tahun.
Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya.
Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan
sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa
ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah.
Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin,
sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas
al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Akhirnya, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak
dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong.
Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam
peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan
dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan
diterpa angin serta hanyut di sungai itu.
Karya-karya
Al-Hallaj
Al-Hallaj
banyak meninggalkan karya-karyanya dalam beberapa bidang namun semuanya hilang,
yang tinggal hanya kepingan-kepingan posa dan syair yang berserekah, ibn Nadhim
sebagai seorang ahli riwatat telah mencatat karya-karya tulis (kitab-kitab),
hanya 46 buah yang ditemukan, diantaranya :
Al-Ahruf
al-Muhaddatsah wal al-Azaliyah wa al-Asma al-Kulliyah
Kitab Al-Wa
al-Tauhid
Kitab Madh
al Nabi wa al Hatsal al-A’la
Kitab Al-Abl
wa al-Fana
Kitab
Al-Ushul wa al-Furu’[11]
kitab
Al-Shaihur Fi Naqshid Duhur,
Kita Al-Abad
wa Ma’bud,
Kitab Kaifa
Kana wa Kaifa Yakun,
Kitab Huwa
Huwa,
Kitab Sirru
al-Alam wa al-Tauhid,
Kitab
Thawasin al-Azal, dan lain-lain.
Kitab-kitab
itu hanya tinggal catatan, karena ketika hukuman dilaksanakan, kitab-kitab itu
juga ikut di musnahkan, kecuali sebuah yang disimpan pendukungnya, yaitu Ibnu
Atha’ dengan judul Thawasin al-Azal. Dari kitab ini dan sumber-sumber muridnya
dapat diketahui tentang ajaran-ajaran Al-Hallaj dalam tasawuf.
0 comments:
Posting Komentar