Mushola Al-Islah Jl leces no.7 Sonosari Kab.Malang kumpulan doa rezeki

Selasa, 02 Juli 2024

Pengantar Tassawuf 1 (Uzlah)

 

Uzlah

Uzlah adalah tradisi suci para nabi dan orang-orang shaleh. Uzlah adalah aktifitas untuk menyingkir, bergeser, meninggalkan, menghindar, menyendiri atau menjauhkan dari keramaian (noise). Disebut juga suluk atau khalwat. Aktifitas ini tercatat jelas. Baik dalam Quran maupun dalam narasi sejarah.

bukti transaksi pring petuk

Semua Nabi dan Orang Suci Ber-‘Uzlah

Semua nabi melakukan uzlah. Terkadang diceritakan dengan bahasa yang terang (muhkamat). Seperti pada kasus 40 hari pertapaan Musa di gunung Sinai (QS. Al-Araf: 142-143). Ataupun dengan kalimat-kalimat “simbolik” (mutasyabihat). Seperti pada kasus Ibrahim as yang “menjauhkan diri” dari masyarakat, atas segala fenomena kemusyrikan mereka (QS. Maryam: 48). Atau kisah Yunus as yang masuk ke “perut ikan” (QS. Yunus 139-148). Ataupun cerita Yusuf as yang dibuang ke “sumur” (QS. Yusuf: 7-10). Ataupun kisah tujuh Ashabul Kahfi yang mengisolasi diri dalam gua (QS. Al-Kahfi: 9-26). Begitu juga dengan riwayat Maryam yang menyepi jauh dari keluarganya dan tertutup tirai (QS. Maryam: 16-25).

Semua kisah ini membawa sejumlah pesan. Apakah tentang tata cara taubat, tafakur, tazakkur, perlindungan, pengasingan diri sekaligus kebangkitan. Muhammad SAW misalnya, dikisahkan, begitu galau dengan kondisi jahiliah masyarakatnya. Lalu ia pergi mengisolasi diri. Dari sana, ia mendapat petunjuk Tuhan tentang cara memimpin transformasi. Turun dari sana, ia membawa Kalimah “Iqrak” (QS. Al-‘Alaq: 1-5). Sebuah spirit untuk membawa bangsanya ke alam yang penuh pengetahuan (makrifah).

Ibrahim as menolak menyembah, apa yang disembah masyarakatnya. Ia “menjauhkan diri” dari mereka (QS. Maryam: 48). Dalam proses perjalanan jiwa, ia berhasil menjangkau wajah Allah. Menjadi makhluk yang hanif. Inni wajjahtu wajhiya lil-ladzi fatarassamawati wal-ardh hanifan.. (QS. Al-An’am: 79). Mujahadah spiritual ini telah mengangkat derajatnya menjadi “bapak monoteis”. Demikian juga dengan anak-anaknya, seperti Ishaq dan Yakub (QS. Maryam: 49). Ibrahim as bahkan diperintahkan Tuhan untuk pergi dan mengasingkan diri dari keluarga, justru saat anaknya (Ismail as) masih sangat kecil. Berbagai ujian ini juga membuat ia diangkat Allah untuk menjadi “imam” bagi sekalian manusia (QS. Al-Baqarah: 124).

Musa as, juga begitu. Banyak sekali masalah yang ia hadapi bersama pengikutnya. Lalu ia pergi beruzlah ke Sinai. Disana ia diangkat Tuhan sebagai sosok “terpilih”. “Wahai Musa, aku memilih engkau melebihi manusia lain untuk membawa risalah dan berbicara secara langsung dengan ku..” (QS. Al-Araf: 144). Disana ia mendapat pencerahan dan pulang dengan membawa Lauh yang berisi petunjuk Tuhan untuk mengatur segala hal (QS. Al-Araf: 145).

Yunus as juga sama. Secara simbolik dikisahkan bagaimana gelombang kekacauan menimpa masyarakatnya (QS. Yunus: 98). Kapal kehidupan oleng, terhempas badai. Harus ada yang diqurbankan. Hanya ia yang diterima Tuhan, untuk menyelamatkan mereka semua. Berhari-hari ia beristighfar, memohon ampun kepada Tuhan dalam pengasingan di “perut ikan”. La ilaha illa Anta subhanaka inni kuntu minadh-dhalimin. “Tidak ada tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim” (QS Al-Anbiya’: 87). Setelah itu, dakwahnya berlanjut lagi. Kali ini, lebih dari seratus ribu orang menjadi pengikutnya (As-Shaffat: 147).

Yusuf as, dimasukkan ke “dasar sumur” oleh saudara-saudaranya (QS. Yusuf: 10 & 15). Disana ia memasrahkan diri kepada Allah. Tapi, dari kedalaman pengasingan itulah ia bangkit, diselamatkan dan diangkat Tuhan menjadi orang besar di kerajaan Mesir. Dari berbagai proses itu ia memperoleh ilmu dan hikmah. Menjadi ahli takwil dan sebagainya. Bahkan ia menjadi penyelamat semua orang yang pernah membencinya (QS. Yusuf: 19-22).

Para “Penghuni Gua” (Ashhabul Kahfi) juga begitu. Mereka mengisolasi diri ke keheningan gua. Itu dilakukan untuk mencari rahmat, petunjuk dan keselamatan dari mara bahaya dan kekacauan dunia (QS. Al-Kahfi: 10). Di sana, telinga mereka “ditutup” (QS. Al-Kahfi: 11), sehingga tidak punya kemampuan untuk memperoleh informasi luar. Mereka “tertidur” dalam zikir. Tertidur, tapi masih bergerak kekiri dan kanan, seperti terjaga (QS. Al-Kahfi: 18). Spiritualitas mereka benar-benar fana. Terputus kontak sama sekali dengan dunia. Bahkan sampai tidak tau sudah berapa lama mereka disana. Ketika keluar, kondisi sudah membaik. Tuhanlah yang bekerja untuk memperbaiki keadaan, selama mereka dalam pengasingan.

Tidak hanya kaum laki-laki saja yang melakoni ritus spiritual retreat ini. Perempuan juga. Bahkan Maryam menjadi simbol utama feminisme terkait “kelahiran” Ruh Suci. Ia melakukan pengasingan diri dari keluarganya (QS. Maryam: 16). Disana, ia menutup diri dengan hijab, tirai, kelambu ataupun tabir (QS. Maryam: 17). Dari hasil pengasingan ini, ia kemudian “hamil” dan semakin jauh mengasingkan diri (QS. Maryam: 22). Sampai kemudian melahirkan sosok “Ruhullah”. Mujahadah untuk melahirkan spirit yang suci memang “sakit” sekali (QS. Maryam: 23). Kisah ini punya pesan simbolik. Bahwa hanya melalui khalwat, tanpa sentuhan biologis, seseorang bisa melahirkan wujud Ruh Suci. Inti khalwat adalah penyucian diri. Usaha untuk melahirkan kembali “Hakikat Diri”, Qaulal Haq atau Logos Ilahi (QS. Maryam: 34).

Karena itulah lebaran setelah ramadhan disebut “idul fitri”. Seseorang akan “suci” (terlahir kembali dalam wujud fitrah). Itu hanya terjadi jika bulan puasa dijadikan sebagai media khalwat. Makanya, Nabi SAW jarang terlihat di masjid saat Ramadhan. Bahkan diriwayatkan, Beliau sampai tidak bersedia melanjutkan tarawih secara berjamaah. Selama bulan suci, Beliau lebih banyak menghabiskan waktu untuk bersuluk di kamarnya. Suluk adalah ibadah “privacy”. Dilakukan sendiri-sendiri. Ataupun berdua-dua (QS. Saba: 46). Makna berdua, bisa berjamaah. Tapi interaksinya sangat terbatas. Berdua itupun, biasanya hanya ada hubungan si salik dengan Allah (ataupun Mursyid).

Katakanlah, "Aku hendak memperingatkan kepadamu satu hal saja, yaitu agar kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian agar kamu pikirkan (tentang Muhammad). Kawanmu itu tidak gila sedikit pun. Dia tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras." Katakanlah (Muhammad), "Imbalan apa pun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu.Imbalanku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."

Jadi, semua nabi menjalani sayr wa suluk. Karena itu, tidak heran jika Nabi Muhammad SAW melakoni tradisi spiritual serupa. Bahkan sejak muda, ia rutin berkhalwat di Gua Hirak. Sampai kemudian menerima wahyu untuk memimpin pergerakan sosial dan politik masyarakatnya. Nabi juga menyebutkan keutamaan mereka yang “mengasingkan diri”. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri:

Seorang laki-laki datang bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling utama?” Beliau menjawab, “Orang yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya.” Dia bertanya kembali, “Kemudian siapa lagi, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seorang mukmin yang berada (‘uzlah) di salah satu lembah pegunungan, dia bertakwa kepada Allah dan meninggalkan manusia (agar selamat) dari keburukan dirinya” (HR. An-Nasa’i).

Al-Fathir

Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit lalu dengan air itu Kami hasilkan buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (Alquran) dan melak­sana­kan salat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi,

agar Allah menyempurnakan pahalanya kepada mereka dan menambah karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Mensyukuri

dalam shalat dalam membaca Al-Qur’an dan berinfaq usahakan sesering mungkin memohon ampun dan bersyukur kepada Allah

uzlah adalah


BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.

Niat dan Metode yang Benar

Karena itu, mustahil bisa beragama secara sempurna, tanpa mengikuti langkah-langkah metodologis tentang uzlah yang telah berulang-ulang dicontohkan para nabi dan shalihin. Uzlah adalah sunnah, jalan, metode atau tariqah untuk menyempurnakan kecerdasan spiritual kita. Untuk dekat dengan Allah, untuk bisa mendengar apa maunya Allah, seseorang mesti melakukan spiritual incubation.

Semua itu ada metodologinya. Ada teknik untuk mengasah alam ruhani, sehingga proses “wisata spiritual” mencapai hasil maksimal. Ada jibril, khizir atau guru spiritual yang diutus Tuhan pada setiap masa untuk membimbing praktik-praktik riyadhah untuk bisa sampai ke ‘Arasy Ilahi (QS. At-Taubah: 127-128). Praktik-praktik khas ini bisa membuat seseorang terkoneksi dengan Allah. Bisa membuat jiwanya tenang. Bisa memperoleh “ilmu kehadiran”.

Dan apabila diturunkan suatu surah, satu sama lain di antara mereka saling berpandangan (sambil berkata), "Adakah seseorang (dari kaum muslimin) yang melihat kamu?" Setelah itu mereka pun pergi. Allah memalingkan hati mereka disebabkan mereka adalah kaum yang tidak memahami.Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.

Praktik ini, jika dilakukan dengan bimbingan dan niat yang benar, bisa mengakumulasi energi spiritual. Sehingga bisa menyelamatkan diri, menaikkan derajat, serta membawa syafaat bagi keluarga dan masyarakat. Seringkali praktik “rahbaniyah” (kerahiban/ketaqwaan) ini diselewengkan. Tidak dipelihara dan dijalankan sebagaimana mestinya. Kalau dalam tradisi Nasrani, ada yang sampai tidak mau kawin lagi. Gara-gara ingin menyendiri dan melayani Tuhan. Padahal, proses sexual intercourse hanya dilarang saat bersuluk saja. Suluk secara harfiah berarti menempuh. Dalam kaitannya dengan agama Islam dan sufisme, kata suluk berarti menempuh jalan untuk menuju Allah.

Dalam Islam juga begitu. Uzlah terkadang dipahami untuk tujuan mencari keramat dan macam-macam. Mengarah ke perdukunan. Menurut Quran, ini sudah “mengada-ngada” (berlebihan). Motivasi seperti ini harus diluruskan. Inti dari praktik-praktik spiritualitas dalam Islam adalah “Ilahi Anta maqshudi, wa ridhaka mathlubi, wa ‘athini mahabbatak”. Tujuannya hanya untuk mencari “ridha Allah”:

Kemudian, Kami meneruskan jejak mereka dengan (mengutus) rasul-rasul Kami dan Kami meneruskan (pula dengan mengutus) Isa putra Maryam serta Kami memberikan Injil kepadanya. Kami menjadikan kesantunan dan kasih sayang dalam hati orang-orang yang mengikutinya. Mereka mengada-adakan rahbaniah (berlebih-lebihan dalam aktifitas kerahiban/pengasingan diri). Padahal, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka. Akan tetapi, (yang kami wajibkan hanyalah untuk tujuan) mencari keridaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Maka, kepada orang-orang yang beriman di antara mereka Kami berikan pahalanya dan di antara mereka banyak yang fasik (QS. Al-Hadid: 27).

Kesimpulan

Dari uraian di atas, kita harus paham; bahwa khalwat, uzlah, atau suluk bukan hal asing dalam Islam. praktik umum dalam tradisi esoteris kenabian. Semua nabi mempraktikkannya. Justru aneh jika agama seperti Islam meninggalkan praktik-praktik “meditasi” yang sangat penting ini. Semua agama samawi mewarisi tradisi serupa. Karena itu, suluk merupakan kewajiban bagi siapapun yang ingin mencapai maqam kedewasaan spiritual. Uzlah merupakan metode paling efektif untuk meningkatkan kecerdasan spiritual (SQ). Apalagi jika mendapat bimbingan langsung dari seorang supervisor ahli, waliyammursyida (QS. Al-Kahfi: 17)


Uzlah

Uzlah adalah tradisi suci para nabi dan orang-orang shaleh. Uzlah adalah aktifitas untuk menyingkir, bergeser, meninggalkan, menghindar, menyendiri atau menjauhkan dari keramaian (noise). Disebut juga suluk atau khalwat. Aktifitas ini tercatat jelas. Baik dalam Quran maupun dalam narasi sejarah.

Semua Nabi dan Orang Suci Ber-‘Uzlah

Semua nabi melakukan uzlah. Terkadang diceritakan dengan bahasa yang terang (muhkamat). Seperti pada kasus 40 hari pertapaan Musa di gunung Sinai (QS. Al-Araf: 142-143). Ataupun dengan kalimat-kalimat “simbolik” (mutasyabihat). Seperti pada kasus Ibrahim as yang “menjauhkan diri” dari masyarakat, atas segala fenomena kemusyrikan mereka (QS. Maryam: 48). Atau kisah Yunus as yang masuk ke “perut ikan” (QS. Yunus 139-148). Ataupun cerita Yusuf as yang dibuang ke “sumur” (QS. Yusuf: 7-10). Ataupun kisah tujuh Ashabul Kahfi yang mengisolasi diri dalam gua (QS. Al-Kahfi: 9-26). Begitu juga dengan riwayat Maryam yang menyepi jauh dari keluarganya dan tertutup tirai (QS. Maryam: 16-25).

Semua kisah ini membawa sejumlah pesan. Apakah tentang tata cara taubat, tafakur, tazakkur, perlindungan, pengasingan diri sekaligus kebangkitan. Muhammad SAW misalnya, dikisahkan, begitu galau dengan kondisi jahiliah masyarakatnya. Lalu ia pergi mengisolasi diri. Dari sana, ia mendapat petunjuk Tuhan tentang cara memimpin transformasi. Turun dari sana, ia membawa Kalimah “Iqrak” (QS. Al-‘Alaq: 1-5). Sebuah spirit untuk membawa bangsanya ke alam yang penuh pengetahuan (makrifah).

Ibrahim as menolak menyembah, apa yang disembah masyarakatnya. Ia “menjauhkan diri” dari mereka (QS. Maryam: 48). Dalam proses perjalanan jiwa, ia berhasil menjangkau wajah Allah. Menjadi makhluk yang hanif. Inni wajjahtu wajhiya lil-ladzi fatarassamawati wal-ardh hanifan.. (QS. Al-An’am: 79). Mujahadah spiritual ini telah mengangkat derajatnya menjadi “bapak monoteis”. Demikian juga dengan anak-anaknya, seperti Ishaq dan Yakub (QS. Maryam: 49). Ibrahim as bahkan diperintahkan Tuhan untuk pergi dan mengasingkan diri dari keluarga, justru saat anaknya (Ismail as) masih sangat kecil. Berbagai ujian ini juga membuat ia diangkat Allah untuk menjadi “imam” bagi sekalian manusia (QS. Al-Baqarah: 124).

Musa as, juga begitu. Banyak sekali masalah yang ia hadapi bersama pengikutnya. Lalu ia pergi beruzlah ke Sinai. Disana ia diangkat Tuhan sebagai sosok “terpilih”. “Wahai Musa, aku memilih engkau melebihi manusia lain untuk membawa risalah dan berbicara secara langsung dengan ku..” (QS. Al-Araf: 144). Disana ia mendapat pencerahan dan pulang dengan membawa Lauh yang berisi petunjuk Tuhan untuk mengatur segala hal (QS. Al-Araf: 145).

Yunus as juga sama. Secara simbolik dikisahkan bagaimana gelombang kekacauan menimpa masyarakatnya (QS. Yunus: 98). Kapal kehidupan oleng, terhempas badai. Harus ada yang diqurbankan. Hanya ia yang diterima Tuhan, untuk menyelamatkan mereka semua. Berhari-hari ia beristighfar, memohon ampun kepada Tuhan dalam pengasingan di “perut ikan”. La ilaha illa Anta subhanaka inni kuntu minadh-dhalimin. “Tidak ada tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim” (QS Al-Anbiya’: 87). Setelah itu, dakwahnya berlanjut lagi. Kali ini, lebih dari seratus ribu orang menjadi pengikutnya (As-Shaffat: 147).

Yusuf as, dimasukkan ke “dasar sumur” oleh saudara-saudaranya (QS. Yusuf: 10 & 15). Disana ia memasrahkan diri kepada Allah. Tapi, dari kedalaman pengasingan itulah ia bangkit, diselamatkan dan diangkat Tuhan menjadi orang besar di kerajaan Mesir. Dari berbagai proses itu ia memperoleh ilmu dan hikmah. Menjadi ahli takwil dan sebagainya. Bahkan ia menjadi penyelamat semua orang yang pernah membencinya (QS. Yusuf: 19-22).

Para “Penghuni Gua” (Ashhabul Kahfi) juga begitu. Mereka mengisolasi diri ke keheningan gua. Itu dilakukan untuk mencari rahmat, petunjuk dan keselamatan dari mara bahaya dan kekacauan dunia (QS. Al-Kahfi: 10). Di sana, telinga mereka “ditutup” (QS. Al-Kahfi: 11), sehingga tidak punya kemampuan untuk memperoleh informasi luar. Mereka “tertidur” dalam zikir. Tertidur, tapi masih bergerak kekiri dan kanan, seperti terjaga (QS. Al-Kahfi: 18). Spiritualitas mereka benar-benar fana. Terputus kontak sama sekali dengan dunia. Bahkan sampai tidak tau sudah berapa lama mereka disana. Ketika keluar, kondisi sudah membaik. Tuhanlah yang bekerja untuk memperbaiki keadaan, selama mereka dalam pengasingan.

Tidak hanya kaum laki-laki saja yang melakoni ritus spiritual retreat ini. Perempuan juga. Bahkan Maryam menjadi simbol utama feminisme terkait “kelahiran” Ruh Suci. Ia melakukan pengasingan diri dari keluarganya (QS. Maryam: 16). Disana, ia menutup diri dengan hijab, tirai, kelambu ataupun tabir (QS. Maryam: 17). Dari hasil pengasingan ini, ia kemudian “hamil” dan semakin jauh mengasingkan diri (QS. Maryam: 22). Sampai kemudian melahirkan sosok “Ruhullah”. Mujahadah untuk melahirkan spirit yang suci memang “sakit” sekali (QS. Maryam: 23). Kisah ini punya pesan simbolik. Bahwa hanya melalui khalwat, tanpa sentuhan biologis, seseorang bisa melahirkan wujud Ruh Suci. Inti khalwat adalah penyucian diri. Usaha untuk melahirkan kembali “Hakikat Diri”, Qaulal Haq atau Logos Ilahi (QS. Maryam: 34).

Karena itulah lebaran setelah ramadhan disebut “idul fitri”. Seseorang akan “suci” (terlahir kembali dalam wujud fitrah). Itu hanya terjadi jika bulan puasa dijadikan sebagai media khalwat. Makanya, Nabi SAW jarang terlihat di masjid saat Ramadhan. Bahkan diriwayatkan, Beliau sampai tidak bersedia melanjutkan tarawih secara berjamaah. Selama bulan suci, Beliau lebih banyak menghabiskan waktu untuk bersuluk di kamarnya. Suluk adalah ibadah “privacy”. Dilakukan sendiri-sendiri. Ataupun berdua-dua (QS. Saba: 46). Makna berdua, bisa berjamaah. Tapi interaksinya sangat terbatas. Berdua itupun, biasanya hanya ada hubungan si salik dengan Allah (ataupun Mursyid).

Katakanlah, "Aku hendak memperingatkan kepadamu satu hal saja, yaitu agar kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian agar kamu pikirkan (tentang Muhammad). Kawanmu itu tidak gila sedikit pun. Dia tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras." Katakanlah (Muhammad), "Imbalan apa pun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu.Imbalanku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."

Jadi, semua nabi menjalani sayr wa suluk. Karena itu, tidak heran jika Nabi Muhammad SAW melakoni tradisi spiritual serupa. Bahkan sejak muda, ia rutin berkhalwat di Gua Hirak. Sampai kemudian menerima wahyu untuk memimpin pergerakan sosial dan politik masyarakatnya. Nabi juga menyebutkan keutamaan mereka yang “mengasingkan diri”. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri:

Seorang laki-laki datang bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling utama?” Beliau menjawab, “Orang yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya.” Dia bertanya kembali, “Kemudian siapa lagi, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seorang mukmin yang berada (‘uzlah) di salah satu lembah pegunungan, dia bertakwa kepada Allah dan meninggalkan manusia (agar selamat) dari keburukan dirinya” (HR. An-Nasa’i).

 

Dalil-Dalil Yang Menganjurkan Uzlah Demi Menjauhi Fitnah

Banyak dalil-dalil yang menganjurkan untuk uzlah (mengasingkan diri) demi menyelamatkan diri dari fitnah atau diri menghindari masyarakat yang banyak terjadi maksiat, kebid’ahan dan pelanggaran agama. Diantaranya sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

خَيْرُ الناسِ في الفِتَنِ رجلٌ آخِذٌ بِعِنانِ فَرَسِه أوْ قال بِرَسَنِ فَرَسِه خلفَ أَعْدَاءِ اللهِ يُخِيفُهُمْ و يُخِيفُونَهُ ، أوْ رجلٌ مُعْتَزِلٌ في بادِيَتِه ، يُؤَدِّي حقَّ اللهِ تَعالَى الذي عليهِ

Sebaik-baik manusia ketika berhadapan dengan fitnah adalah orang yang memegang tali kekang kudanya menghadapi musuh-musuh Allah. Ia menakuti-nakuti mereka, dan merekapun menakut-nakutinya. Atau seseorang yang mengasingkan diri ke lereng-lereng gunung, demi menunaikan apa yang menjadi hak Allah” (HR. Al Hakim 4/446, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 2/311).

Sebagaimana juga dalam hadits,

قال رجلٌ : أيُّ الناسِ أفضلُ ؟ يا رسولَ اللهِ ! قال ( مؤمنٌ يجاهد بنفسِه ومالِه في سبيلِ اللهِ ) قال : ثم من ؟ قال ( ثم رجلٌ مُعتزلٌ في شِعبٍ من الشِّعابِ . يعبد ربَّه ويدَعُ الناسَ من شرِّه

“Seseorang bertanya kepada Nabi: ‘siapakan manusia yang paling utama wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab: ‘Orang yang berjihad dengan jiwanya dan hartanya di jalan Allah’. Lelaki tadi bertanya lagi: ‘lalu siapa?’. Nabi menjawab: ‘Lalu orang yang mengasingkan diri di lembah-lembah demi untuk menyembah Rabb-nya dan menjauhkan diri dari kebobrokan masyarakat'” (HR. Al Bukhari 7087, Muslim 143).

Bahkan andai satu-satu jalan supaya selamat dari fitnah adalah dengan mengasingkan diri ke lembah-lembah dan puncak-puncak gunung, maka itu lebih baik daripada agama kita terancam hancur. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يُوشِكَ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الرَّجُلِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنْ الْفِتَنِ

Hampir-hampir harta seseorang yang paling baik adalah kambing yang ia pelihara di puncak gunung dan lembah, karena ia lari mengasingkan diri demi menyelamatkan agamanya dari fitnah” (HR. Al Bukhari 3300).

Tidak baik juga jika kita terlalu lama untuk pergi Uzlah karena bergaul ditengah masyarakat sangat dianjurkan dalam Agama Islam hanya saja kita harus menggunakan akal kita untuk melihat kondisi tersebut

Tidak baik juga jika kita terlalu lama untuk pergi Uzlah karena bergaul ditengah masyarakat sangat dianjurkan dalam Agama Islam hanya saja kita harus menggunakan akal kita untuk melihat kondisi tersebut

Dalil-Dalil Yang Menganjurkan Untuk Bergaul Di Tengah Masyarakat 

Sebagian dalil yang lain menganjurkan kita untuk bergaul di tengah masyarakat walaupun bobrok keadaannya, dalam rangka berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar di dalamnya. Diantaranya firman Allah Ta’ala:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2).

juga firman Allah Ta’ala:

وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴿٣﴾

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al Ashr: 1-3)

Diantaranya juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

المؤمنُ الذي يخالطُ الناسَ ويَصبرُ على أذاهم خيرٌ منَ الذي لا يُخالطُ الناسَ ولا يصبرُ على أذاهمْ

Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka” (HR. At Tirmidzi 2507, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad 388, Ahmad 5/365, syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan hadits ini shahih dalam Mafatihul Fiqh 44).

Juga sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam:

فواللهِ لَأن يُهدى بك رجلٌ واحدٌ خيرٌ لك من حُمْرِ النَّعَمِ

Demi Allah, sungguh engkau menjadi sebab hidayah bagi satu orang saja, itu lebih baik bagimu daripada unta merah” (HR. Al Bukhari 2942)ز

Juga sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam:

اتَّقِ اللهَ حيثُما كنتَ ، وأَتبِعِ السَّيِّئَةَ الحسنةَ تمحُها ، و خالِقِ الناسَ بخُلُقٍ حَسنٍ

bertaqwalah engkau kepada Allah dimanapun berada, dan perbuatan buruk itu hendaknya diikuti dengan perbuatan baik yang bisa menghapus dosanya, dan pergaulilah orang-orang dengan akhlaq yang baik” (HR. At Tirmidzi 1906, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami, 97).

dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain.

Memahami dan Menggabungkan Dalil-Dalil

Jika kita melihat penjelasan para ulama, ternyata dalil-dalil di atas tidaklah saling bertabrakan. Juga dengan memahami pernyataan para ulama, kita bisa mengamalkan dan menggabungkan dalil-dalil yang ada dalam masalah ini. Sehingga kita pun bisa bersikap dengan benar dan proporsional, tidak mutlak memutuskan untuk mengasingkan diri dan juga tidak mutlak memutuskan untuk bergaul di masyarakat yang buruk keadaannya.

Al Khathabi dalam kitab Al ‘Uzlah menyatakan bahwa dalil-dalil yang menganjurkan untuk berkumpul di dalam masyarakat di bawa ke makna bahwa hal itu dalam hal-hal yang berkaitan dengan ketaatan terhadap ulil amri dan ketaatan dalam menjalankan perintah agama. Dan sebaliknya, jika berkaitan dengan adanya pengingkaran terhadap ulil amri dan pengingkaran terhadap perintah-perintah agama maka uzlah. Adapun mengenai memutuskan untuk ijtima’ (berkumpul) atau iftiraq (memisahkan diri) secara lahiriah, maka orang yang merasa dapat menjaga kecukupan penghidupannya dan menjaga agamannya, maka lebih utama baginya untuk tetap bergaul di tengah masyarakat. Dengan syarat, ia harus tetap dapat menjaga shalat jama’ah, senantiasa menebarkan salam, menjawab salam, memenuhi hak-hak sesama muslim seperti menjenguk orang yang sakit, melayat orang yang meninggal, dan lainnya (walaupun tinggal di masyarakat yang bobrok, pent). Dan yang dituntut dalam keadaannya ini adalah meninggalkan fudhulus shahbah (terlalu berlebihan dalam bergaul atau bermasyarakat). Karena hal itu dapat menyibukkan diri, membuang banyak waktu, sehingga lalai dari hal-hal yang lebih penting. Hal itu juga dapat menjadikan kegiatan kumpul-kumpul dimasyarakat sebagai kegaitan yang sampai taraf kebutuhan baginya untuk dilakukan pagi dan malam. Yang benar hendaknya seseorang itu mencukupkan diri bergaul di masyarkat (yang buruk) sebatas yang dibutuhkan saja, yaitu yang memberikan kelonggaran badan dan hati. Wallahu’alam. (lihat Fathul Baari, 11/333, dinukil dari Mafatihul Fiqh, 45).

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan: “para salaf berbeda pendapat mengenai hukum asal uzlah. Jumhur ulama berpendapat bahwa bergaul di tengah masyarakat (yang bobrok) itu lebih utama karena dengan hal itu didapatkan banyak keuntungan diniyyah, semisal tersebarnya syiar-syiar Islam, memperkokoh kekuatan kaum Muslimin, tercapainya banyak kebaikan-kebaikan seperti saling menolong, saling membantu, saling mengunjungi, dan lainnya. Dan sebagian ulama berpendapat, uzlah itu lebih utama karena lebih terjamin keselamatan dari keburukan, namun dengan syarat ia memahami benar keadaan yang sedang terjadi” (Fathul Baari, 13/42, dinukil dari Mafatihul Fiqh, 46).

An Nawawi menjelaskan: “yang lebih rajih adalah merinci masalah bergaul di masyarakat yang buruk, bagi orang yang menyangka dengan kuat bahwa ia tidak akan ikut terjerumus dalam maksiat. Bagi orang yang ragu ia akan ikut bermaksiat atau tidak, maka yang lebih utama baginya adalah uzlah. Sebagian ulama mengatakan, keputusannya tergantung keadaan. Jika keadaannya saling bertentangan juga, keputusannya juga masih perlu melihat waktu. Bagi orang yang memang diwajibkan baginya untuk bergaul di masyarakat karena ia sangat mampu mengingkari kemungkaran, maka hukumnya wajib ‘ain atau wajib kifayah baginya. Tergantu keadaan dan kemungkinan yang ada. Adapun orang yang menyangka dengan kuat bahwa ia masih bisa selamat di masyarakat tersebut dengan tetap melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, atau orang yang merasa dirinya masih aman namun ia merasa tidak bisa menjadi orang yang shalih, (maka boleh tetap bergaul di masyarakat). Ini selama tidak ada fitnah yang tersebar luas. Adapun jika ada fitnah maka lebih dianjurkan untuk uzlah. Karena di dalam masyarakat tersebut terjadi pelanggaran syariat yang meluas (dilakukan mayoritas orang). Dan dalam keadaan ini terkadang hukuman dari Allah diturunkan bagi ashabul fitan (pelaku keburukan dimasyarakat) namun hukuman tersebar hingga orang yang tidak termasuk ashabul fitan pun terkena. sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al Anfal: 25) (dinukil dari Mafatihul Fiqh, 46).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya: “apakah bagi orang yang berusaha menjalani agama dengan benar itu lebih baik uzlah atau bergaul di tengah masyarakat?”. Beliau menjawab: “masalah ini walaupun para ulama khilaf, baik khilaf kulliy maupun khilaf haliy, namun yang benar adalah bergaul di tengah masyarakat terkadang wajib dan terkadang mustahab (dianjurkan). Dan seseorang terkadang diperintahkan untuk tetap bergaul di tengah masyarakat dan terkadang diperintahkan untuk menyendiri. Mengkompromikannya yaitu dengan melihat apakah dengan bergaul itu dapat terwujud saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, jika demikian maka diperintahkan untuk bergaul. Namun jika dalam bergaul di tengah masyarakat terdapat unsur saling tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran, maka ketika itu terlarang. Dan berkumpul bersama orang-orang dalam berbagai jenis ibadah seperti shalat 5 waktu, shalat jum’at, shalat Id, shalat Kusuf, shalat istisqa, dan yang lainnya adalah perkara yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Demikian juga berkumpul bersama masyarakat dalam ibadah haji, dalam memerangi orang kafir, dalam memerangi kaum khawarij, (adalah hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya). Walau penguasa ketika itu fajir. Walaupun diantara masyarakat itu ada banyak orang fajir. Demikian juga (diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya) berkumpul bersama orang-orang dalam hal-hal yang dapat menambah keimanan, karena ia mendapat manfaat dari kumpulan itu maupun ia yang memberi manfaat, atau semisal itu.

Dan semestinya seseorang memiliki waktu menyendiri, yang ia gunakan untuk berdoa, berdzikir, shalat, ber-tafakkurmuhasabah, memperbaiki hatinya, dan hal-hal lain yang khusus untuknya tanpa ada orang lain. Ini semua butuh bersendirian. Baik di rumahnya, – sebagaimana kata Thawus: ‘sebaik-baik tempat bagi seseorang untuk menyimpan dirinya adalah rumahnya, ia dapat menahan pandangannya dan lisannya disana’ – , maupun di luar rumah.

Maka memutuskan untuk bergaul di tengah masyarakat secara mutlak, ini adalah kesalahan. Dan memutuskan untuk menyendiri secara mutlak, ini juga kesalahan. Namun untuk menakar kadar mana yang lebih utama bagi seseorang apakah yang ini ataukah yang itu, dan mana yang lebih baik baginya dalam setiap keadaan, ini sangat membutuhkan penelaahan keadaan masing-masing sebagaimana telah kami jelaskan” (Majmu’ Al Fatawa, 10/425, dinukil dari Mafatihul Fiqh 47 – 48).

Referensi utama: Mafatihul Fiqhi Fid Diin, Syaikh Musthafa Al ‘Adawi, hal. 43-48, cetakan Maktabah Al Makkah

Download materi Uzlah

Uzlah



0 comments:

Posting Komentar