Uzlah
Uzlah adalah tradisi suci para nabi dan orang-orang shaleh. Uzlah adalah aktifitas untuk menyingkir, bergeser, meninggalkan, menghindar, menyendiri atau menjauhkan dari keramaian (noise). Disebut juga suluk atau khalwat. Aktifitas ini tercatat jelas. Baik dalam Quran maupun dalam narasi sejarah.
Semua Nabi dan Orang Suci Ber-‘Uzlah
Semua nabi melakukan uzlah. Terkadang diceritakan dengan
bahasa yang terang (muhkamat). Seperti pada kasus 40 hari pertapaan Musa di
gunung Sinai (QS. Al-Araf: 142-143). Ataupun dengan kalimat-kalimat
“simbolik” (mutasyabihat). Seperti pada kasus Ibrahim as yang “menjauhkan
diri” dari masyarakat, atas segala fenomena kemusyrikan mereka (QS.
Maryam: 48). Atau kisah Yunus as yang masuk ke “perut ikan” (QS. Yunus
139-148). Ataupun cerita Yusuf as yang dibuang ke “sumur” (QS.
Yusuf: 7-10). Ataupun kisah tujuh Ashabul Kahfi yang mengisolasi diri
dalam gua (QS. Al-Kahfi: 9-26). Begitu juga dengan riwayat Maryam
yang menyepi jauh dari keluarganya dan tertutup tirai (QS. Maryam: 16-25).
Semua kisah ini membawa sejumlah pesan. Apakah tentang tata
cara taubat, tafakur, tazakkur, perlindungan, pengasingan diri sekaligus
kebangkitan. Muhammad SAW misalnya, dikisahkan, begitu galau dengan
kondisi jahiliah masyarakatnya. Lalu ia pergi mengisolasi diri. Dari sana, ia
mendapat petunjuk Tuhan tentang cara memimpin transformasi. Turun dari sana, ia
membawa Kalimah “Iqrak” (QS. Al-‘Alaq: 1-5). Sebuah spirit untuk membawa
bangsanya ke alam yang penuh pengetahuan (makrifah).
Ibrahim as menolak menyembah, apa yang disembah
masyarakatnya. Ia “menjauhkan diri” dari mereka (QS. Maryam: 48). Dalam
proses perjalanan jiwa, ia berhasil menjangkau wajah Allah. Menjadi makhluk
yang hanif. Inni wajjahtu wajhiya lil-ladzi fatarassamawati wal-ardh hanifan..
(QS. Al-An’am: 79). Mujahadah spiritual ini telah mengangkat derajatnya
menjadi “bapak monoteis”. Demikian juga dengan anak-anaknya, seperti Ishaq
dan Yakub (QS. Maryam: 49). Ibrahim as bahkan diperintahkan Tuhan untuk pergi
dan mengasingkan diri dari keluarga, justru saat anaknya (Ismail as) masih
sangat kecil. Berbagai ujian ini juga membuat ia diangkat Allah untuk menjadi
“imam” bagi sekalian manusia (QS. Al-Baqarah: 124).
Musa as, juga begitu. Banyak sekali masalah yang ia hadapi
bersama pengikutnya. Lalu ia pergi beruzlah ke Sinai. Disana ia diangkat Tuhan
sebagai sosok “terpilih”. “Wahai Musa, aku memilih engkau melebihi manusia
lain untuk membawa risalah dan berbicara secara langsung dengan ku..” (QS.
Al-Araf: 144). Disana ia mendapat pencerahan dan pulang dengan membawa Lauh
yang berisi petunjuk Tuhan untuk mengatur segala hal (QS. Al-Araf: 145).
Yunus as juga sama. Secara simbolik dikisahkan bagaimana
gelombang kekacauan menimpa masyarakatnya (QS. Yunus: 98). Kapal kehidupan
oleng, terhempas badai. Harus ada yang diqurbankan. Hanya ia yang diterima
Tuhan, untuk menyelamatkan mereka semua. Berhari-hari ia beristighfar, memohon
ampun kepada Tuhan dalam pengasingan di “perut ikan”. La ilaha illa Anta
subhanaka inni kuntu minadh-dhalimin. “Tidak ada tuhan selain Engkau, Maha Suci
Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim” (QS Al-Anbiya’: 87). Setelah
itu, dakwahnya berlanjut lagi. Kali ini, lebih dari seratus ribu orang menjadi
pengikutnya (As-Shaffat: 147).
Yusuf as, dimasukkan ke “dasar sumur” oleh saudara-saudaranya (QS. Yusuf: 10 & 15). Disana ia memasrahkan diri kepada Allah. Tapi, dari kedalaman pengasingan itulah ia bangkit, diselamatkan dan diangkat Tuhan menjadi orang besar di kerajaan Mesir. Dari berbagai proses itu ia memperoleh ilmu dan hikmah. Menjadi ahli takwil dan sebagainya. Bahkan ia menjadi penyelamat semua orang yang pernah membencinya (QS. Yusuf: 19-22).
Para “Penghuni Gua” (Ashhabul Kahfi) juga begitu. Mereka mengisolasi diri ke keheningan gua. Itu dilakukan untuk mencari rahmat, petunjuk dan keselamatan dari mara bahaya dan kekacauan dunia (QS. Al-Kahfi: 10). Di sana, telinga mereka “ditutup” (QS. Al-Kahfi: 11), sehingga tidak punya kemampuan untuk memperoleh informasi luar. Mereka “tertidur” dalam zikir. Tertidur, tapi masih bergerak kekiri dan kanan, seperti terjaga (QS. Al-Kahfi: 18). Spiritualitas mereka benar-benar fana. Terputus kontak sama sekali dengan dunia. Bahkan sampai tidak tau sudah berapa lama mereka disana. Ketika keluar, kondisi sudah membaik. Tuhanlah yang bekerja untuk memperbaiki keadaan, selama mereka dalam pengasingan.
Tidak hanya kaum laki-laki saja yang melakoni ritus spiritual retreat ini. Perempuan juga. Bahkan Maryam menjadi simbol utama feminisme terkait “kelahiran” Ruh Suci. Ia melakukan pengasingan diri dari keluarganya (QS. Maryam: 16). Disana, ia menutup diri dengan hijab, tirai, kelambu ataupun tabir (QS. Maryam: 17). Dari hasil pengasingan ini, ia kemudian “hamil” dan semakin jauh mengasingkan diri (QS. Maryam: 22). Sampai kemudian melahirkan sosok “Ruhullah”. Mujahadah untuk melahirkan spirit yang suci memang “sakit” sekali (QS. Maryam: 23). Kisah ini punya pesan simbolik. Bahwa hanya melalui khalwat, tanpa sentuhan biologis, seseorang bisa melahirkan wujud Ruh Suci. Inti khalwat adalah penyucian diri. Usaha untuk melahirkan kembali “Hakikat Diri”, Qaulal Haq atau Logos Ilahi (QS. Maryam: 34).
Karena itulah lebaran setelah ramadhan disebut “idul fitri”. Seseorang akan “suci” (terlahir kembali dalam wujud fitrah). Itu hanya terjadi jika bulan puasa dijadikan sebagai media khalwat. Makanya, Nabi SAW jarang terlihat di masjid saat Ramadhan. Bahkan diriwayatkan, Beliau sampai tidak bersedia melanjutkan tarawih secara berjamaah. Selama bulan suci, Beliau lebih banyak menghabiskan waktu untuk bersuluk di kamarnya. Suluk adalah ibadah “privacy”. Dilakukan sendiri-sendiri. Ataupun berdua-dua (QS. Saba: 46). Makna berdua, bisa berjamaah. Tapi interaksinya sangat terbatas. Berdua itupun, biasanya hanya ada hubungan si salik dengan Allah (ataupun Mursyid).
Katakanlah, "Aku hendak memperingatkan kepadamu satu
hal saja, yaitu agar kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau
sendiri-sendiri; kemudian agar kamu pikirkan (tentang Muhammad). Kawanmu itu
tidak gila sedikit pun. Dia tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan
bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras." Katakanlah
(Muhammad), "Imbalan apa pun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk
kamu.Imbalanku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu."
Jadi, semua nabi menjalani sayr wa suluk. Karena itu, tidak heran jika Nabi Muhammad SAW melakoni tradisi spiritual serupa. Bahkan sejak muda, ia rutin berkhalwat di Gua Hirak. Sampai kemudian menerima wahyu untuk memimpin pergerakan sosial dan politik masyarakatnya. Nabi juga menyebutkan keutamaan mereka yang “mengasingkan diri”. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri:
Seorang laki-laki datang bertanya: “Wahai Rasulullah,
siapakah manusia yang paling utama?” Beliau menjawab, “Orang yang berjihad di
jalan Allah dengan jiwa dan hartanya.” Dia bertanya kembali, “Kemudian siapa
lagi, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seorang mukmin yang berada (‘uzlah)
di salah satu lembah pegunungan, dia bertakwa kepada Allah dan meninggalkan
manusia (agar selamat) dari keburukan dirinya” (HR. An-Nasa’i).
Al-Fathir
Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit lalu dengan air itu Kami hasilkan buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (Alquran) dan melaksanakan salat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi,
agar Allah
menyempurnakan pahalanya kepada mereka dan menambah karunia-Nya. Sungguh, Allah
Maha Pengampun, Maha Mensyukuri
dalam shalat dalam membaca Al-Qur’an dan berinfaq usahakan sesering mungkin memohon ampun dan bersyukur kepada Allah
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
Niat dan Metode yang Benar
Karena itu, mustahil bisa beragama secara sempurna, tanpa mengikuti langkah-langkah metodologis tentang uzlah yang telah berulang-ulang dicontohkan para nabi dan shalihin. Uzlah adalah sunnah, jalan, metode atau tariqah untuk menyempurnakan kecerdasan spiritual kita. Untuk dekat dengan Allah, untuk bisa mendengar apa maunya Allah, seseorang mesti melakukan spiritual incubation.
Semua itu ada metodologinya. Ada teknik untuk mengasah alam ruhani, sehingga proses “wisata spiritual” mencapai hasil maksimal. Ada jibril, khizir atau guru spiritual yang diutus Tuhan pada setiap masa untuk membimbing praktik-praktik riyadhah untuk bisa sampai ke ‘Arasy Ilahi (QS. At-Taubah: 127-128). Praktik-praktik khas ini bisa membuat seseorang terkoneksi dengan Allah. Bisa membuat jiwanya tenang. Bisa memperoleh “ilmu kehadiran”.
Dan apabila
diturunkan suatu surah, satu sama lain di antara mereka saling berpandangan
(sambil berkata), "Adakah seseorang (dari kaum muslimin) yang melihat
kamu?" Setelah itu mereka pun pergi. Allah memalingkan hati mereka
disebabkan mereka adalah kaum yang tidak memahami.Sungguh, telah datang kepadamu
seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu
alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun
dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.
Praktik ini, jika dilakukan dengan bimbingan dan niat yang benar, bisa mengakumulasi energi spiritual. Sehingga bisa menyelamatkan diri, menaikkan derajat, serta membawa syafaat bagi keluarga dan masyarakat. Seringkali praktik “rahbaniyah” (kerahiban/ketaqwaan) ini diselewengkan. Tidak dipelihara dan dijalankan sebagaimana mestinya. Kalau dalam tradisi Nasrani, ada yang sampai tidak mau kawin lagi. Gara-gara ingin menyendiri dan melayani Tuhan. Padahal, proses sexual intercourse hanya dilarang saat bersuluk saja. Suluk secara harfiah berarti menempuh. Dalam kaitannya dengan agama Islam dan sufisme, kata suluk berarti menempuh jalan untuk menuju Allah.
Dalam Islam juga begitu. Uzlah terkadang dipahami untuk tujuan mencari keramat dan macam-macam. Mengarah ke perdukunan. Menurut Quran, ini sudah “mengada-ngada” (berlebihan). Motivasi seperti ini harus diluruskan. Inti dari praktik-praktik spiritualitas dalam Islam adalah “Ilahi Anta maqshudi, wa ridhaka mathlubi, wa ‘athini mahabbatak”. Tujuannya hanya untuk mencari “ridha Allah”:
Kemudian, Kami meneruskan jejak mereka dengan (mengutus) rasul-rasul Kami dan Kami meneruskan (pula dengan mengutus) Isa putra Maryam serta Kami memberikan Injil kepadanya. Kami menjadikan kesantunan dan kasih sayang dalam hati orang-orang yang mengikutinya. Mereka mengada-adakan rahbaniah (berlebih-lebihan dalam aktifitas kerahiban/pengasingan diri). Padahal, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka. Akan tetapi, (yang kami wajibkan hanyalah untuk tujuan) mencari keridaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Maka, kepada orang-orang yang beriman di antara mereka Kami berikan pahalanya dan di antara mereka banyak yang fasik (QS. Al-Hadid: 27).
Kesimpulan
Dari uraian di atas, kita harus paham; bahwa khalwat, uzlah, atau suluk bukan hal asing dalam Islam. praktik umum dalam tradisi esoteris kenabian. Semua nabi mempraktikkannya. Justru aneh jika agama seperti Islam meninggalkan praktik-praktik “meditasi” yang sangat penting ini. Semua agama samawi mewarisi tradisi serupa. Karena itu, suluk merupakan kewajiban bagi siapapun yang ingin mencapai maqam kedewasaan spiritual. Uzlah merupakan metode paling efektif untuk meningkatkan kecerdasan spiritual (SQ). Apalagi jika mendapat bimbingan langsung dari seorang supervisor ahli, waliyammursyida (QS. Al-Kahfi: 17)
Uzlah
Uzlah adalah tradisi suci para nabi dan orang-orang shaleh. Uzlah adalah aktifitas untuk menyingkir, bergeser, meninggalkan, menghindar, menyendiri atau menjauhkan dari keramaian (noise). Disebut juga suluk atau khalwat. Aktifitas ini tercatat jelas. Baik dalam Quran maupun dalam narasi sejarah.
Semua Nabi dan Orang Suci Ber-‘Uzlah
Semua nabi melakukan uzlah. Terkadang diceritakan dengan
bahasa yang terang (muhkamat). Seperti pada kasus 40 hari pertapaan Musa di
gunung Sinai (QS. Al-Araf: 142-143). Ataupun dengan kalimat-kalimat
“simbolik” (mutasyabihat). Seperti pada kasus Ibrahim as yang “menjauhkan
diri” dari masyarakat, atas segala fenomena kemusyrikan mereka (QS.
Maryam: 48). Atau kisah Yunus as yang masuk ke “perut ikan” (QS. Yunus
139-148). Ataupun cerita Yusuf as yang dibuang ke “sumur” (QS.
Yusuf: 7-10). Ataupun kisah tujuh Ashabul Kahfi yang mengisolasi diri
dalam gua (QS. Al-Kahfi: 9-26). Begitu juga dengan riwayat Maryam
yang menyepi jauh dari keluarganya dan tertutup tirai (QS. Maryam: 16-25).
Semua kisah ini membawa sejumlah pesan. Apakah tentang tata
cara taubat, tafakur, tazakkur, perlindungan, pengasingan diri sekaligus
kebangkitan. Muhammad SAW misalnya, dikisahkan, begitu galau dengan
kondisi jahiliah masyarakatnya. Lalu ia pergi mengisolasi diri. Dari sana, ia
mendapat petunjuk Tuhan tentang cara memimpin transformasi. Turun dari sana, ia
membawa Kalimah “Iqrak” (QS. Al-‘Alaq: 1-5). Sebuah spirit untuk membawa
bangsanya ke alam yang penuh pengetahuan (makrifah).
Ibrahim as menolak menyembah, apa yang disembah
masyarakatnya. Ia “menjauhkan diri” dari mereka (QS. Maryam: 48). Dalam
proses perjalanan jiwa, ia berhasil menjangkau wajah Allah. Menjadi makhluk
yang hanif. Inni wajjahtu wajhiya lil-ladzi fatarassamawati wal-ardh hanifan..
(QS. Al-An’am: 79). Mujahadah spiritual ini telah mengangkat derajatnya
menjadi “bapak monoteis”. Demikian juga dengan anak-anaknya, seperti Ishaq
dan Yakub (QS. Maryam: 49). Ibrahim as bahkan diperintahkan Tuhan untuk pergi
dan mengasingkan diri dari keluarga, justru saat anaknya (Ismail as) masih
sangat kecil. Berbagai ujian ini juga membuat ia diangkat Allah untuk menjadi
“imam” bagi sekalian manusia (QS. Al-Baqarah: 124).
Musa as, juga begitu. Banyak sekali masalah yang ia hadapi
bersama pengikutnya. Lalu ia pergi beruzlah ke Sinai. Disana ia diangkat Tuhan
sebagai sosok “terpilih”. “Wahai Musa, aku memilih engkau melebihi manusia
lain untuk membawa risalah dan berbicara secara langsung dengan ku..” (QS.
Al-Araf: 144). Disana ia mendapat pencerahan dan pulang dengan membawa Lauh
yang berisi petunjuk Tuhan untuk mengatur segala hal (QS. Al-Araf: 145).
Yunus as juga sama. Secara simbolik dikisahkan bagaimana
gelombang kekacauan menimpa masyarakatnya (QS. Yunus: 98). Kapal kehidupan
oleng, terhempas badai. Harus ada yang diqurbankan. Hanya ia yang diterima
Tuhan, untuk menyelamatkan mereka semua. Berhari-hari ia beristighfar, memohon
ampun kepada Tuhan dalam pengasingan di “perut ikan”. La ilaha illa Anta
subhanaka inni kuntu minadh-dhalimin. “Tidak ada tuhan selain Engkau, Maha Suci
Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim” (QS Al-Anbiya’: 87). Setelah
itu, dakwahnya berlanjut lagi. Kali ini, lebih dari seratus ribu orang menjadi
pengikutnya (As-Shaffat: 147).
Yusuf as, dimasukkan ke “dasar sumur” oleh saudara-saudaranya (QS. Yusuf: 10 & 15). Disana ia memasrahkan diri kepada Allah. Tapi, dari kedalaman pengasingan itulah ia bangkit, diselamatkan dan diangkat Tuhan menjadi orang besar di kerajaan Mesir. Dari berbagai proses itu ia memperoleh ilmu dan hikmah. Menjadi ahli takwil dan sebagainya. Bahkan ia menjadi penyelamat semua orang yang pernah membencinya (QS. Yusuf: 19-22).
Para “Penghuni Gua” (Ashhabul Kahfi) juga begitu. Mereka mengisolasi diri ke keheningan gua. Itu dilakukan untuk mencari rahmat, petunjuk dan keselamatan dari mara bahaya dan kekacauan dunia (QS. Al-Kahfi: 10). Di sana, telinga mereka “ditutup” (QS. Al-Kahfi: 11), sehingga tidak punya kemampuan untuk memperoleh informasi luar. Mereka “tertidur” dalam zikir. Tertidur, tapi masih bergerak kekiri dan kanan, seperti terjaga (QS. Al-Kahfi: 18). Spiritualitas mereka benar-benar fana. Terputus kontak sama sekali dengan dunia. Bahkan sampai tidak tau sudah berapa lama mereka disana. Ketika keluar, kondisi sudah membaik. Tuhanlah yang bekerja untuk memperbaiki keadaan, selama mereka dalam pengasingan.
Tidak hanya kaum laki-laki saja yang melakoni ritus spiritual retreat ini. Perempuan juga. Bahkan Maryam menjadi simbol utama feminisme terkait “kelahiran” Ruh Suci. Ia melakukan pengasingan diri dari keluarganya (QS. Maryam: 16). Disana, ia menutup diri dengan hijab, tirai, kelambu ataupun tabir (QS. Maryam: 17). Dari hasil pengasingan ini, ia kemudian “hamil” dan semakin jauh mengasingkan diri (QS. Maryam: 22). Sampai kemudian melahirkan sosok “Ruhullah”. Mujahadah untuk melahirkan spirit yang suci memang “sakit” sekali (QS. Maryam: 23). Kisah ini punya pesan simbolik. Bahwa hanya melalui khalwat, tanpa sentuhan biologis, seseorang bisa melahirkan wujud Ruh Suci. Inti khalwat adalah penyucian diri. Usaha untuk melahirkan kembali “Hakikat Diri”, Qaulal Haq atau Logos Ilahi (QS. Maryam: 34).
Karena itulah lebaran setelah ramadhan disebut “idul fitri”. Seseorang akan “suci” (terlahir kembali dalam wujud fitrah). Itu hanya terjadi jika bulan puasa dijadikan sebagai media khalwat. Makanya, Nabi SAW jarang terlihat di masjid saat Ramadhan. Bahkan diriwayatkan, Beliau sampai tidak bersedia melanjutkan tarawih secara berjamaah. Selama bulan suci, Beliau lebih banyak menghabiskan waktu untuk bersuluk di kamarnya. Suluk adalah ibadah “privacy”. Dilakukan sendiri-sendiri. Ataupun berdua-dua (QS. Saba: 46). Makna berdua, bisa berjamaah. Tapi interaksinya sangat terbatas. Berdua itupun, biasanya hanya ada hubungan si salik dengan Allah (ataupun Mursyid).
Katakanlah, "Aku hendak memperingatkan kepadamu satu
hal saja, yaitu agar kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau
sendiri-sendiri; kemudian agar kamu pikirkan (tentang Muhammad). Kawanmu itu
tidak gila sedikit pun. Dia tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan
bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras." Katakanlah
(Muhammad), "Imbalan apa pun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk
kamu.Imbalanku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu."
Jadi, semua nabi menjalani sayr wa suluk. Karena itu, tidak heran jika Nabi Muhammad SAW melakoni tradisi spiritual serupa. Bahkan sejak muda, ia rutin berkhalwat di Gua Hirak. Sampai kemudian menerima wahyu untuk memimpin pergerakan sosial dan politik masyarakatnya. Nabi juga menyebutkan keutamaan mereka yang “mengasingkan diri”. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri:
Seorang laki-laki datang bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling utama?” Beliau menjawab, “Orang yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya.” Dia bertanya kembali, “Kemudian siapa lagi, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seorang mukmin yang berada (‘uzlah) di salah satu lembah pegunungan, dia bertakwa kepada Allah dan meninggalkan manusia (agar selamat) dari keburukan dirinya” (HR. An-Nasa’i).
Dalil-Dalil Yang Menganjurkan Uzlah Demi
Menjauhi Fitnah
Banyak
dalil-dalil yang menganjurkan untuk uzlah (mengasingkan diri)
demi menyelamatkan diri dari fitnah atau diri menghindari masyarakat yang
banyak terjadi maksiat, kebid’ahan dan pelanggaran agama. Diantaranya sabda
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
خَيْرُ الناسِ في الفِتَنِ
رجلٌ آخِذٌ بِعِنانِ فَرَسِه أوْ قال بِرَسَنِ فَرَسِه خلفَ أَعْدَاءِ اللهِ
يُخِيفُهُمْ و يُخِيفُونَهُ ، أوْ رجلٌ مُعْتَزِلٌ في بادِيَتِه ، يُؤَدِّي حقَّ
اللهِ تَعالَى الذي عليهِ
“Sebaik-baik
manusia ketika berhadapan dengan fitnah adalah orang yang memegang tali kekang
kudanya menghadapi musuh-musuh Allah. Ia menakuti-nakuti mereka, dan merekapun
menakut-nakutinya. Atau seseorang yang mengasingkan diri ke lereng-lereng
gunung, demi menunaikan apa yang menjadi hak Allah” (HR. Al Hakim 4/446,
dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 2/311).
Sebagaimana
juga dalam hadits,
قال رجلٌ : أيُّ الناسِ
أفضلُ ؟ يا رسولَ اللهِ ! قال ( مؤمنٌ يجاهد بنفسِه ومالِه في سبيلِ اللهِ ) قال :
ثم من ؟ قال ( ثم رجلٌ مُعتزلٌ في شِعبٍ من الشِّعابِ . يعبد ربَّه ويدَعُ الناسَ
من شرِّه
“Seseorang
bertanya kepada Nabi: ‘siapakan manusia yang paling utama wahai Rasulullah?’
Nabi menjawab: ‘Orang yang berjihad dengan jiwanya dan hartanya di jalan
Allah’. Lelaki tadi bertanya lagi: ‘lalu siapa?’. Nabi menjawab: ‘Lalu orang
yang mengasingkan diri di lembah-lembah demi untuk menyembah Rabb-nya dan
menjauhkan diri dari kebobrokan masyarakat'” (HR. Al Bukhari 7087, Muslim 143).
Bahkan
andai satu-satu jalan supaya selamat dari fitnah adalah dengan mengasingkan
diri ke lembah-lembah dan puncak-puncak gunung, maka itu lebih baik daripada
agama kita terancam hancur. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
يُوشِكَ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ
مَالِ الرَّجُلِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ
يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنْ الْفِتَنِ
“Hampir-hampir
harta seseorang yang paling baik adalah kambing yang ia pelihara di puncak
gunung dan lembah, karena ia lari mengasingkan diri demi menyelamatkan agamanya
dari fitnah” (HR. Al Bukhari 3300).
Tidak baik juga jika kita terlalu lama untuk pergi Uzlah
karena bergaul ditengah masyarakat sangat dianjurkan dalam Agama Islam hanya
saja kita harus menggunakan akal kita untuk melihat kondisi tersebut
Tidak baik juga jika kita terlalu lama untuk pergi Uzlah
karena bergaul ditengah masyarakat sangat dianjurkan dalam Agama Islam hanya
saja kita harus menggunakan akal kita untuk melihat kondisi tersebut
Dalil-Dalil Yang Menganjurkan Untuk Bergaul
Di Tengah Masyarakat
Sebagian dalil yang lain menganjurkan kita
untuk bergaul di tengah masyarakat walaupun bobrok keadaannya, dalam rangka
berdakwah dan amar
ma’ruf nahi munkar di dalamnya. Diantaranya firman Allah Ta’ala:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى
الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah:
2).
juga firman Allah Ta’ala:
وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ
الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴿٣﴾
“Demi
masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”
(QS. Al Ashr: 1-3)
Diantaranya juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
المؤمنُ الذي يخالطُ
الناسَ ويَصبرُ على أذاهم خيرٌ منَ الذي لا يُخالطُ الناسَ ولا يصبرُ على أذاهمْ
“Seorang
mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka,
itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat
dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka” (HR. At Tirmidzi 2507,
Al Bukhari dalam Adabul Mufrad 388, Ahmad 5/365, syaikh Musthafa Al ‘Adawi
mengatakan hadits ini shahih dalam Mafatihul
Fiqh 44).
Juga sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam:
فواللهِ لَأن يُهدى بك
رجلٌ واحدٌ خيرٌ لك من حُمْرِ النَّعَمِ
“Demi
Allah, sungguh engkau menjadi sebab hidayah bagi satu orang saja, itu lebih
baik bagimu daripada unta merah” (HR. Al Bukhari 2942)ز
Juga sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam:
اتَّقِ اللهَ حيثُما كنتَ
، وأَتبِعِ السَّيِّئَةَ الحسنةَ تمحُها ، و خالِقِ الناسَ بخُلُقٍ حَسنٍ
“bertaqwalah
engkau kepada Allah dimanapun berada, dan perbuatan buruk itu hendaknya diikuti
dengan perbuatan baik yang bisa menghapus dosanya, dan pergaulilah orang-orang
dengan akhlaq yang baik” (HR. At Tirmidzi 1906, dihasankan Al
Albani dalam Shahih
Al Jami, 97).
dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain.
Memahami dan Menggabungkan Dalil-Dalil
Jika kita melihat penjelasan para ulama,
ternyata dalil-dalil di atas tidaklah saling bertabrakan. Juga dengan memahami
pernyataan para ulama, kita bisa mengamalkan dan menggabungkan dalil-dalil yang
ada dalam masalah ini. Sehingga kita pun bisa bersikap dengan benar dan
proporsional, tidak mutlak memutuskan untuk mengasingkan diri dan juga tidak
mutlak memutuskan untuk bergaul di masyarakat yang buruk keadaannya.
Al Khathabi dalam kitab Al ‘Uzlah menyatakan
bahwa dalil-dalil yang menganjurkan untuk berkumpul di dalam masyarakat di bawa
ke makna bahwa hal itu dalam hal-hal yang berkaitan dengan ketaatan terhadap
ulil amri dan ketaatan dalam menjalankan perintah agama. Dan sebaliknya, jika
berkaitan dengan adanya pengingkaran terhadap ulil amri dan pengingkaran
terhadap perintah-perintah agama maka uzlah. Adapun mengenai memutuskan
untuk ijtima’ (berkumpul)
atau iftiraq (memisahkan
diri) secara lahiriah, maka orang yang merasa dapat menjaga kecukupan penghidupannya
dan menjaga agamannya, maka lebih utama baginya untuk tetap bergaul di tengah
masyarakat. Dengan syarat, ia harus tetap dapat menjaga shalat jama’ah,
senantiasa menebarkan salam, menjawab salam, memenuhi hak-hak sesama muslim
seperti menjenguk orang yang sakit, melayat orang yang meninggal, dan lainnya
(walaupun tinggal di masyarakat yang bobrok, pent). Dan yang dituntut dalam
keadaannya ini adalah meninggalkan fudhulus
shahbah (terlalu berlebihan dalam bergaul atau bermasyarakat).
Karena hal itu dapat menyibukkan diri, membuang banyak waktu, sehingga lalai
dari hal-hal yang lebih penting. Hal itu juga dapat menjadikan kegiatan
kumpul-kumpul dimasyarakat sebagai kegaitan yang sampai taraf kebutuhan baginya
untuk dilakukan pagi dan malam. Yang benar hendaknya seseorang itu mencukupkan
diri bergaul di masyarkat (yang buruk) sebatas yang dibutuhkan saja, yaitu yang
memberikan kelonggaran badan dan hati. Wallahu’alam.
(lihat Fathul Baari,
11/333, dinukil dari Mafatihul
Fiqh, 45).
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan:
“para salaf berbeda pendapat mengenai hukum asal uzlah. Jumhur ulama
berpendapat bahwa bergaul di tengah masyarakat (yang bobrok) itu lebih utama
karena dengan hal itu didapatkan banyak keuntungan diniyyah, semisal
tersebarnya syiar-syiar Islam, memperkokoh kekuatan kaum Muslimin, tercapainya
banyak kebaikan-kebaikan seperti saling menolong, saling membantu, saling
mengunjungi, dan lainnya. Dan sebagian ulama berpendapat, uzlah itu lebih utama
karena lebih terjamin keselamatan dari keburukan, namun dengan syarat ia
memahami benar keadaan yang sedang terjadi” (Fathul
Baari, 13/42, dinukil dari Mafatihul
Fiqh, 46).
An Nawawi menjelaskan: “yang lebih rajih
adalah merinci masalah bergaul di masyarakat yang buruk, bagi orang yang menyangka
dengan kuat bahwa ia tidak akan ikut terjerumus dalam maksiat. Bagi orang yang
ragu ia akan ikut bermaksiat atau tidak, maka yang lebih utama baginya
adalah uzlah.
Sebagian ulama mengatakan, keputusannya tergantung keadaan. Jika keadaannya
saling bertentangan juga, keputusannya juga masih perlu melihat waktu. Bagi
orang yang memang diwajibkan baginya untuk bergaul di masyarakat karena ia
sangat mampu mengingkari kemungkaran, maka hukumnya wajib ‘ain atau wajib
kifayah baginya. Tergantu keadaan dan kemungkinan yang ada. Adapun orang yang
menyangka dengan kuat bahwa ia masih bisa selamat di masyarakat tersebut dengan
tetap melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, atau orang yang merasa dirinya
masih aman namun ia merasa tidak bisa menjadi orang yang shalih, (maka boleh
tetap bergaul di masyarakat). Ini selama tidak ada fitnah yang tersebar luas.
Adapun jika ada fitnah maka lebih dianjurkan untuk uzlah. Karena di dalam
masyarakat tersebut terjadi pelanggaran syariat yang meluas (dilakukan
mayoritas orang). Dan dalam keadaan ini terkadang hukuman dari Allah diturunkan
bagi ashabul fitan (pelaku
keburukan dimasyarakat) namun hukuman tersebar hingga orang yang tidak termasuk
ashabul fitan pun terkena. sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا
تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan
peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang
zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”
(QS. Al Anfal: 25) (dinukil dari Mafatihul
Fiqh, 46).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya: “apakah
bagi orang yang berusaha menjalani agama dengan benar itu lebih baik uzlah atau
bergaul di tengah masyarakat?”. Beliau menjawab: “masalah ini walaupun para
ulama khilaf, baik khilaf
kulliy maupun khilaf
haliy, namun yang benar adalah bergaul di tengah
masyarakat terkadang wajib dan terkadang mustahab (dianjurkan). Dan seseorang
terkadang diperintahkan untuk tetap bergaul di tengah masyarakat dan
terkadang diperintahkan untuk menyendiri. Mengkompromikannya yaitu dengan
melihat apakah dengan bergaul itu dapat terwujud saling tolong-menolong dalam
kebaikan dan ketaqwaan, jika demikian maka diperintahkan untuk bergaul. Namun
jika dalam bergaul di tengah masyarakat terdapat unsur saling tolong-menolong
dalam dosa dan pelanggaran, maka ketika itu terlarang. Dan berkumpul
bersama orang-orang dalam berbagai jenis ibadah seperti shalat 5 waktu, shalat
jum’at, shalat Id, shalat Kusuf, shalat istisqa, dan yang lainnya adalah
perkara yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Demikian juga berkumpul bersama masyarakat
dalam ibadah haji, dalam memerangi orang kafir, dalam memerangi kaum khawarij,
(adalah hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya). Walau penguasa ketika
itu fajir. Walaupun diantara masyarakat itu ada banyak orang fajir. Demikian
juga (diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya) berkumpul bersama orang-orang
dalam hal-hal yang dapat menambah keimanan, karena ia mendapat manfaat dari
kumpulan itu maupun ia yang memberi manfaat, atau semisal itu.
Dan semestinya seseorang memiliki waktu
menyendiri, yang ia gunakan untuk berdoa, berdzikir, shalat, ber-tafakkur, muhasabah, memperbaiki
hatinya, dan hal-hal lain yang khusus untuknya tanpa ada orang lain. Ini semua
butuh bersendirian. Baik di rumahnya, – sebagaimana kata Thawus: ‘sebaik-baik
tempat bagi seseorang untuk menyimpan dirinya adalah rumahnya, ia dapat menahan
pandangannya dan lisannya disana’ – , maupun di luar rumah.
Maka memutuskan untuk bergaul di tengah
masyarakat secara mutlak, ini adalah kesalahan. Dan memutuskan untuk menyendiri
secara mutlak, ini juga kesalahan. Namun untuk menakar kadar mana yang lebih
utama bagi seseorang apakah yang ini ataukah yang itu, dan mana yang lebih baik
baginya dalam setiap keadaan, ini sangat membutuhkan penelaahan keadaan
masing-masing sebagaimana telah kami jelaskan” (Majmu’ Al Fatawa, 10/425, dinukil
dari Mafatihul Fiqh 47
– 48).
Referensi utama: Mafatihul Fiqhi Fid Diin, Syaikh Musthafa Al ‘Adawi, hal. 43-48, cetakan Maktabah Al Makkah
Download materi Uzlah
Uzlah |
0 comments:
Posting Komentar